Jangkar Politik Pilpres 2024

NTB,Harnasnews.com – Meski jendela politik pemilihan presiden 2024 masih tertutup rapat. Mistic politik, polarisasi politik menuju pimilihan presiden 2024 mulai diotak-atik. Akan ada saja respon dari marathon kecil politik, karena kita sendiri mahluk politik.

Sejauh ini kita belum tau kemana biduk politik ini akan didayung. Apakah biduk politik dipenghujung tahun 2019 menjadi rentetan peristiwa politik tahun lalu? Ataukah menjadi pembeda dari rentetan peristiwa politik dalam rentang perjalan waktu pemilihan presiden 2019 yang baru kita lalui.

Akan banyak sisi yang dapat dirujuk melihat arah jangkar politik disematkan. Dari sudut pandang politik keumatan, jangkar politik lebih pada penguatan perimbangan politik electoral. Sikap politik umat, pandangan politik umat dan arah capean sterategis politik rakyat sangat mungkin menggeser semat politik partai.

Bukanlah hal yang abasur apabila jangkar politik keumatan ikut menentukan percapaian makro sistem politik kenegaraan yang elegan menuju ending hepy ideal kesejahteraan.

Atau justru pilpres 2024 yang mendatang, kembali mengulang sejarah kelam politik yang sarat gengsi dan kontradiksi kembali bermahkotakan isu -isu sensitif keagamaan yang dibumbui narasi yang serba hoax . Sekejap panggung politik pemilihan kepala daerah akan dijadikan sample politik menuju pilpres 2024. Sangat mungkin eskalasi politik pemilihan kepala daerah terpelihara. digiring sampai pada pemilihan presiden 2024.

Meski sebatas sample politik namun armada perang politik mulai diarahkan ke atas panggung politik pilkada serentak 2020. Lagi lagi cost politik yang besar membuat selisih jarak politik hubungan antar kelompok pendukung calon.

Dimana gensi, akan kembali dibenturkan dalam polarisasi narasi dan diksi yang saling menjatuhkan. Akan ada kemungkinan kekuatan jangkar politik mengalihkan kerumuanan politik dan semat politik partai hasil pIllegal serentak.

Jika memang jangkar politik rakyat tidak mampu menginterpensi proses pencalonan, setidaknya rakyat masih bisa berharap dalam tawaran politik keumatan. Kuat dugaan mahkota pilkada diklaim sebagai basis dukungan politik pemilihan presiden.

Meskipun hasil pilkada tidak selalu inheren dengan hasil politik medan laga yang jauh lebih besar. Akankah penguatan politik dipilpres 2024 mendatang menggeser dominasi kesadaran electoral parpol: mahar politik, interpensi dan dominasi partai terhadap kekuasaan presiden? atau sebaliknya pemilihan presiden 2024 mendatang menjadi sejarah baru penguatan sistem presidencial? Ungkit politik yang sedang dimainkan oleh beberapa katum partai seperti: Nasdem, PKS, PKB, mengisyaratkan tersedia panggung trisula politik pilpres di 2024 mendatang.

Segala kemungkinan sangat mungkin terjadi dalam politik. Jika itu benar terjadi maka trisula politik menjadi jangkar politik rakyat, melawan dominasi dan hegemoni partai. Kita semua dirundung harapan besar dalam harap cemas. Kristalisasi politik rakyat diharapkan menjadi isntrumen tandingan shock terapi partai politik? Medium kristalisasi ini mestinya sanggup membokar amnesia politik yang terjadi selama berapa dasawarsa.

Ada geliat dan aura kekecewaan, kejenuhan, rakyat menonton drama serial yang dilakoni partai politik.Lelah sudah kita berjubal dalam semangat orientasi yang reaktif. Berpolitik berati melatih lompatan berpikir yang terukur yang sistematis.
Energy ini diharapkan akan membuka tabir kegelapan politik, menuju trisula politik poros tengah yang kuat.

Basis dukungan trisula bisa dari kelompok keagamaan, korban kekecewaan keganasan politik pemilihan 2019 yang lalu. Adalah kelompok keagamaan di luar NU dan Muhammadiyah yang akan menjadi basis dukungan.

Sangat mungkin perahu politik trisula akan mengaitkan jangkar politik mereka ke partai oposisi PKS. Tentu ini akan lebih elegan, memberikan dampak pisikologi bagi siapapun yang berlari meninggalkan basis dukungan politik.

Imajinasi tentang keadilan hukum, perbaikan ekonomi selama ini, selalu berakhir dimeja diskusi TV one. Kita tidak ingin kembali dalam cerita semu di atas meja diskusi pengamat. Terlalu dini memang menilai arah politik apalagi menyimpulkannya.

Empat tahun yang tersisah, akan sangat berharga bagi rakyat Indonesia untuk meningkatkan kapasitas berpikir, dari berpikiran reaktif kearah berpikir reflektif,Tidak ada cara yang lebih baik selain belajar dari pengalaman yang ada, keberanian menyalahkan diri sendiri dari pada menyebarkan racun kebencian.

Empat tahun kedepan masa dimana rakyat mengevaluasi kinerja koalisi gemuk, sepanjang sejarah reformasi. Apakah koalisis besar ini sukses membawa bangsa ini melompat untuk sebuah perbaikan? Ataukah koalisi besar ini menjadi gurita yang akan menarik perahu kebangsaan dalam hegemoni ekonomi kelompok.

Saat ini kita sedang berada dalam masa transisi politik. Kita harus yakin dengan semangat optimisme yang kita bangun. Kita selalu siap hadir kegarda terdepan politik meretas kebutuan transisi politik. Buah dari itu semua sangat tergantung pada rakyat. Kapal mana yang akan mereka tumpangi menuju pengharapan baru di 2024.

Ataukah rakyat kembali menikmati adonan racun politik electoral. Sudah pasti kita tidak mengharapkan itu terjadi, karena terlampau berat beban dosa yang akan kita pikul bersama nantinya.

KEMANA JANGKAR POLITIK MENEPI?

Pertanyaan sederhana ini begitu mengelitik dan mengusik. Yang pantas menjawab pertanyaan kecil ini adalah kita-kita yang masih percaya akan perubahan. Dan jawaban besar akan selalu lahir dari perenungan yang besar. Merenug berarti menyelami alam pikiran, hati dan jiwa kita semua. Merenungi realitas, perjalan politik dan epek politik.

Hasil dari marathon kecil politik, mulai mengemuka. Sepertinya kisah politik pemilihan presiden 2024 mendatang, mengengingatkan kita pada perjalan politik Jokowi. Karena memang basis figure yang disebut-sebut saat ini ada di daerah.

Ada banyak tokoh-tokoh besutan partai politik di daerah yang lagi naik daun. Jika ditimbangpun akan sama berat timbangannya. Di Jakarta ada Anis, di Bandung ada Ridwan Kamil, DR. Zilkieflimansyah di NTB Risma Surabaya dan sederet nama lainnya yang secara koalitas tidak jauh berbeda.

Secara praktis tokoh tokoh ini akan mulai menjadi incaran, diperbicangkan di sudut-sudut panggung politik pilpres 2024 mendatang. Meski terlalu dini namun sembelit politik ini menarik kita telusuri kita pantau. Proses ini yang kami maksudkan dengan berpikir reflektif. Berpikir reflektif, sistematik berpikir yang konstruktif, dimana kita harus membuat konten alisis sedini mungkin sebelum masalah politik mancual dalam bentuk petaka politik.

Jika ditarik benang merah politik dari berapa tokoh besutan parpol besar kemungkinan Dr. Zulkieflimansyah berpasangan dengan Anis, Ridwan dengan Risma, Ailangga Sucipto dengan Agus Harimukti Yudhoyono. Bisa jadi ini menjadi jalan, dari ikhtiar politik yang kita lakukan selama empat tahun kedepan. Tinggal bagaiman iktiar politik ini kita tarik dalam skema orientasi yang konstruktif. Jadi kuat tidaknya jangkar politik rakyat di pilpres tahun 2024 sangat tergantung pada: Iktiar politik rakyat. Komitmrn politik. Serta kiat rakyat membangun orientasi politik konstruktif.(Herman)

Leave A Reply

Your email address will not be published.