Membangun Bangsa Dengan Berbasis Pancasila sebagai Kesepakatan Nasional

SURABAYA,Harnasnews.com – Universitas Airlangga kembali membuka ruang diskusi untuk kajian multikulturalisme yang ada di Indonesia. Hal ini sebagai bentuk kesiapan bangsa Indonesia dalam menyiapkan pembangunan manusia yang juga tengah menjadi fokus utama pemerintah.
Forum diskusi yang dinamakan Kajian Titik Temu, ‘membangun manusia Indonesia dalam perspektif Pancasila’ ini bekerjasama dengan Nur Nurcholish Madjid Society dan Yayasan Indonesia Barokah Sejahtera, Rabu (20/11). Dan dihadiri beberapa tokoh bangsa. Seperti Rais Syuriah PBNU K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag, Sekretaris Umum PP Muhammdiyah Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., dan Jaringan Gusdurian Inaya Wulandari Wahid.

Dalam kesempatan tersebut, Dewan Pembina Nurcholis Madjid Society, Yudi Latif, juga menyoroti adanya ideologi alternative yang belakang menjadi isu di Indonesia. Menurutnya, munculnya ideologi tersebut sebenarnya sebagai bentuk kritik adanya masalah terhadap penyelenggara negara. Ia menilai, jika Pancasila sungguh sungguh ditanamkan dan dimungkinkan secara efektif dalam tata kelola nilai didikan dengan menilik di berbagai reliable pendidikan, tata kelola negara diperbaiki, maupun tata material sejahteranya mengarah pada keadilan, semestinya ideologi ideologi alternative tidak punya tenaga.
”Artinya ini justru panggilan bagi negara untuk lebih sungguh sungguh. Jangan Pancasila hanya sekedar goyang lidah. Tiga aspek Pancasila harus dijalankan secara konsisten.  Tata nilai lewat pendidikan,  tata kelola negara harus sejalan dengan Pancasila dan tata kelola keadilan harus diperbaiki.  Dengan begitu hidup sudah rukun,  adil, damai,  orang tidak akan tertarik kelur dari pikiran pikiran Pancasila,” ungkap dia.

Oleh karena itu, kata dia, ibarat mereka keluar dari lingkaran Pancasila (khilafah,red), semestinya negara akan senang jika mereka kembali lagi ke Pancasila. Karenanya, dibutuhkan pendekatan persuatif, dan inklusif.

”Jangan justru dorong mereka keluar. Rangkul mereka, justru ditarik perlahan untuk masuk (kembali) dalam pikiran Pancasila,” tegasnya.

Di lain sisi, pihaknya juga menyoroti adanya pelarangan penggunaan cadar. Menurut Yudi, bercadar menjadi pilihan pribadi setiap orang. Justru semakin dilarang, akan menimbulkan gejolak dan menjadi simbol perlawanan politi.

”Jadi (kalau) ada pelarangan cadar jangan jadikan ini simbol perlawan politik. Karena kadang-kadang kalau dilarang akan jadi stigma dan simbol politik. Di Eropa ada koreksi, ketika mengeluarkan kebijakan pelarangan, masyarakat (yang merasa dirugikan) akan berkelompok dan jadi simbol identitas,” pungkas dia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.