Dilema Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia

Dengan demikian, penetapan pidana mati juga harus memperhatikan aspek-aspek perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender.

Di sisi lain, terkait perempuan sebagai terdakwa hukuman mati, Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa pidana mati yang dialami oleh perempuan, khususnya perempuan pekerja migran, bermula dari jejak panjang feminisasi kemiskinan dan lapisan kekerasan berbasis gender yang mereka alami sejak dari rumah.

Peristiwa kekerasan berbasis gender yang mereka alami terakumulasi dalam dunia kerja dan ruang-ruang sosial lainnya, sehingga mengakibatkan mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang berujung pada pidana mati.

Dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, isu-isu yang memiliki keterkaitan dengan pidana mati terhadap perempuan adalah feminisasi kemiskinan, feminisasi migrasi, stigma sosial, perdagangan orang, kejahatan narkotika, sistem hukum yang tidak berpihak kepada perempuan korban, pelanggaran hak atas peradilan yang adil, dan hak untuk bebas dari penyiksaan.

Akumulasi dari isu-isu tersebut merupakan sejumlah faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dan para penegak hukum ketika menetapkan hukuman mati terhadap perempuan. Apalagi, ketika mereka harus menanti dalam ketidakpastian akibat waktu tunggu proses eksekusi yang dapat berdurasi lebih dari lima tahun.

Tidak hanya kehilangan hak untuk hidup, mereka juga dapat kehilangan kesehatan mental.

Dilema pidana mati
Menghapus hukuman mati tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pihak-pihak yang terlibat sebagai pembuat regulasi memiliki berbagai pertimbangan terkait dengan hukuman pidana mati, seperti tindak kriminal yang kian meningkat.

“Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?” ucap Jaksa Agung RI Burhanuddin.

Ia juga mengatakan bahwa, selama ini, kejaksaan telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan berat yang sesuai dengan tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the asset dan follow the money, serta memiskinkan para koruptor.

Sayangnya, seluruh upaya yang telah ditempuh oleh aparat penegak hukum tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan tindak pidana korupsi.

Mengganti pidana mati dengan hukuman pidana penjara seumur hidup juga bukan merupakan solusi terbaik, mengingat Indonesia sedang mengalami permasalahan kelebihan kapasitas lapas.

Selain itu, tidak seluruh kasus dengan ancaman pidana mati dapat menggunakan alternatif hukuman lainnya. Misalkan, hukuman pidana untuk kasus pelanggaran HAM berat seperti genosida.

Saat ini, para penegak hukum menggunakan hukuman pidana mati sebagai politik hukum pidana yang ‘menggertak’ berbagai pihak agar mengurungkan niat mereka dalam melakukan tindak pidana. Tetapi, hal ini tidak bisa berlangsung dalam waktu yang lama, berkaca dari dampak hukuman pidana mati kepada para terdakwa, khususnya kepada perempuan.

Terlalu banyak benang kusut yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pembuat kebijakan, berikut dengan berbagai pertimbangan mengenai gejolak yang sedang berlangsung di dalam dan di luar negeri.

Indonesia membutuhkan gebrakan hukum yang dapat menata ulang sistem penegakan hukum di negara ini.(qq)

Leave A Reply

Your email address will not be published.