
Oleh: Yudhie Haryono
Tentu Dan Brown ini novelis besar, jenius dan inspiratif. Tetapi, ini obrolan ringan. Jangan baper. Cukup bersenyum. Mari kita mulai dengan hipotesa purba. Misteri universal manusia adalah pertanyaan dari mana asal kita dan ke mana kita akan pergi?
Jutaan orang percaya bahwa mereka sudah tahu jawaban atas kedua pertanyaan ini. Namun, karena jawaban dari agama berbeda-beda, akhirnya dipertengkarkan jawaban mana yang benar dan versi Tuhan mana yang menjadi kisah sejati. Bahkan banyak yang sampai mabuk. Ya. Mabuk agama, sampai ia lebih suka ribut daripada damai. Persis di Indonesia.
Karenanya, mari bergurau untuk satu hal ini. Dari mana mulainya? Dari dialog-dialog di bawah ini (dalam novel Origin, karyanya dan sejumlah novel-novelnya). “Secara historis, orang paling berbahaya di dunia adalah para fanatik pengikut Tuhan. Terutama ketika tuhan-tuhan mereka terancam,” kata Edmond Kirch kepada kawan-kawannya.
Lalu, Sang Uskup menimpali, “seperti yang kukatakan kepada para kolegaku, orang beriman bisa selalu menarik manfaat dari mendengarkan orang yang tidak beriman. Eh, Uskup Antonio Valdespino menyela, “bahkan dengan mendengar suara iblis, kami bisa lebih menghargai suara Tuhan.”
Dan Brown bertesa (dalam novel Simbol Yang Hilang), “demokrasi dan kapitalisme selalu sejalan sambil melucukan (memperolok agama). Terlebih, neo liberalisme bukan semata sistim ekonomi, tapi tatanan normatif yang menyusup dalam kehidupan, membentuk cara kita berpikir, memilih dan mencinta, melalui logika pasar dan hutan belantara: yang menang yang rakus dan culas.” Agama dan iman lalu sekarat, terdistorsi bahkan mati.
Karena itu Dan Brown melanjutkan (dalam novel Titik Penipuan), “cepat atau lambat kita semua harus melepaskan masa lalu. Tak bermanfaat mengutukinya setiap saat. Jangan kita bunuh masa depan cemerlang dengan masa lalu (yang gulita). Sungguh bahwa, hidup di dunia tanpa menyadari makna cemerlang dunia itu ibarat berkeliaran dalam perpustakaan besar tanpa menyentuh buku-bukunya: apalagi membangun perpustakaan dan kampusnya.”
Ya. Dan Brown memang suka guyon. Apa katanya? “Percaya atau tidak kepada Tuhan, Anda harus percaya ini: ketika kita sebagai spesies mengabaikan kepercayaan kepada kekuatan yang lebih besar dari kita, kita mengabaikan rasa tanggung jawab kita. Iman dalam semua agama adalah peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat kita pahami, sesuatu yang harus kita pertanggungjawabkan (dalam novel Malaikat Dan Setan).
Dengan iman, kita bertanggung jawab kepada satu sama lain, kepada diri kita sendiri, dan kepada kebenaran yang lebih tinggi. Agama itu cacat, itu karena manusia memiliki cacat. Bukan sebaliknya. Gereja sendiri (sebagaimana ide rumah Tuhan yang lain) terdiri dari persaudaraan jiwa-jiwa yang tidak sempurna dan sederhana yang hanya ingin menjadi suara belas kasih di dunia yang semakin tidak terkendali.”
Yang di bawah ini lebih ajib. Apa katanya? “Alkitab tidak datang melalui faks dari surga. Alkitab adalah hasil karya manusia. Bukan karya Tuhan. Alkitab tidak jatuh secara ajaib dari awan. Manusia menciptakannya sebagai catatan sejarah tentang masa-masa sulit, dan telah berkembang melalui banyak sekali terjemahan, penambahan serta revisi. Sejarahnya tidak pernah memiliki versi definitif dari buku tersebut” (dalam novel The Davinci Code).
Ini soal kitab, lalu bagaimana soal iman pada agama? Menarik. Taukah mengapa banyak orang merasa bahwa agamanya (dan bahasanya) paling benar dan satu-satunya kebenaran? Sungguh, ini pertanyaan purba tetapi menjadi “warisan jahiliyah” yang terus dipupuk oleh banyak gembala.
Padahal, jawabannya sederhana. Para fundamentalis itu karena tak banyak baca, tak tahu betapa luasnya dunia. Dalam kehidupan yang luas dan bacaan yang mendunia itu, manusia mengembangkan bahasa dan agamanya sendiri untuk menamai, menafsirkan, memahami dan merenungi hal-hal di sekitarnya. Dus, agama dan bahasa tumbuh bersama pengalaman hidup suatu komunitas, suatu suku, suatu sikon dll. Akibatnya tentu tidak tunggal, melainkan beragam.
Perbedaan tempat dan kebiasaan menjadikan agama dan bahasa yang satu, perlahan berbeda cara, penamaan, tafsir, dialek, ritual dll yang kemudian berbeda strukturnya, polanya, kebiasaan pengucapanya, tulisannya, frasanya hingga akhirnya menjadi agama dan bahasa yang benar-benar berbeda dari sebelumnya setelah dikurikulumkan serta menjadi sekolah-sekolah baku yang tertradisi.
Singkatnya kemudian, agama dan bahasa menjadi cermin kehidupan dan cara hidup suatu komunitas, klan, suku dan epistemiknya dalam menikmati semesta.
Terlebih, semua agama, bahasa, bahkan seni dan ilmu pengetahuan adalah cabang dari pohon yang sama (Tuhan). Maka, kemanusiaan kita harus tumbuh bersama, bukan terpisah. Kita lebih baik bekerjasama sambil menajiskan pecah dan perang.
Penulis: Presidium Forum Negarawan