
Oleh: Muhammad M Said
Setiap tanggal 1 Juli tahun berjalan, Polisi Republik Indonesia memperingati Hari jadi Bhayangkara. Artinya, HUT Bhayangkara mengandung makna historis yang mendalam yaitu penanda sejarah (historical sign) kelahiran Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan menjadi refleksi atas perjalanan panjang polisi dan institusi Polisi menjalan tugas dan fungsi pokok, terutama dalam menjaga ketertiban, menegakkan hukum, dan mengayomi masyarakat. HUT Bhayangkara menjadi ruang kontemplatif bagi Polisi dan Institusinya serta kita semua sejauh mana institusi kepolisian telah hadir sebagai penegak keadilan yang berpihak pada rakyat?
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Polisi mempunyai tugas pokok sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, serta pemberi perlindungan dan pelayan publik. Dalam dinamika perjalanannya Polri menghadapi kompleksitas ancaman internal maupun eksternal, terutama tantangan eksternal di tengah situasi dan kondisi ketidakpastian akobat geopolitik global yang menegangkan. Sebagai instrumen negara terdepan dari kebijakan publik negara, polisi menjadi indikator penting untuk mengukur sejauh mana negara hadir untuk melindungi rakyatnya secara adil dan manusiawi.
HUT Bhayangkara ke-79 tahun memiliki arti dan makna strategis dan lebih substansial. Sebagai naak bangsa, kita patut bersyukur dan mengapresiasi berbagai pencapaian gemilang Polri di tingkat global, seperti dilaporkan World Internal Security and Police Index (WISPI) 2023, yang menempatkan Polri dalam peringkat global yang sangat membanggakan karena berhasil menekan angka kekerasan, pembunuhan, dan terorisme. Lapiran ini menjadi katalisator bahwa transformasi kelembagaan sedang berjalan dan membuahkan hasil yang membanggakan pada level nasional dan global.
Tentu, pencapaian prestisius tidak boleh menjadi tembok penghalang untuk tersu meningkatkan kinerja yang lebih dan lebih lua, melakukan pembenahan internal yang lebih sublimatif dan menyentuh akar persoalan sebab kualitas institusi tidak hanya dinilai dari capaian angka, tetapi juga dari perspektif emik dan empati adalah mampu untuk mendengar, merasakan, dan memahami rakyatnya.
Polisi dan Perspektif Emik
Perspektif emik sesungguhnya sebuah pendekatan sosio-antropologis yang menekankan pemahaman terhadap masyarakat dari sudut pandang internal masyarakat sendiri. Dalam konteks tugas dan funsgi pokok polisi, perspektif emik menjadi sangat relevan ketika aparat berhadapan dengan masyarakat adat, komunitas rentan, atau kelompok dengan nilai budaya yang khas.
Pemahaman emik terhadap konteks lokal, penegakan hukum cenderung bersifat kaku dan legalistik, bahkan kontraproduktif, memerlukan pendekatan yang lebih mendalam, melihat warga bukan sebagai objek pengawasan, tetapi sebagai subjek dengan logika sosial dan nilai-nilai yang hidup. Artinya, polisi tidak cukup hanya menghafal pasal-pasal, tetapi perlu belajar memahami “rasa”. Rasa takut, rasa sakit, rasa tidak berdaya adalah modal sosial dan emosional yang sangat berarti agar dalam melaksanakan tugas negara diwarnai kecerdasan emosional, menumbuhkan empati di tengah “rasa” yang tidak nyama dialami masyarakat.
Sudah saatnya, melalui HUT Bhayangkara ini, kita membangun emik, emptahy dan rasa atas dasar filosofi “perlakukan mereka (masyarakat) sebagaimana kita ingin mereka memperlakukan kita, polisi hadir sebagai sahabat yang menghibur di kala duka, menyadarkan dikala lalai, dan mengayomi di kala suasana genting.
Emik, Empati, dan Rasa bukan kelemahan melakukan kebijakan (virtue), dan kekuatan moral tertinggi dalam praktik pelayanan publik. Polisi sebagai instrumen pelaksanaka kebijakan publik negara dalam bidang keamanan dan penegakkan hukum yang empatik adalah sosok menindak sekaligsu mendamping, dan menghadirikan keteduhan kala duka dan lara menyelimuti. Ia menegur dan sekaligus menenangkan.
Empati mendorong kita masuk dan menempatkan duka orang lain sebagai duka kita; berada dalam posisi yang sama dengan rakyat yang mengalami ketidakadilan, merasakan luka mereka, dan memilih bertindak bukan karena prosedur, tetapi karena nurani. Sakit karena ketidakadilan yang dirasa seseorang, polisi ayng baik dan bijaksana adalah yang juga merasakan sakit sama dalam jiwanya. Dalam konteks ini, keadilan (adl) merupakan konsep mulia, satu dari sekian banyak nama yang baik (asma’al husna) yang mengajari kita mengasah dan meningkatkan kepekaan “rasa” untuk perasaan yang menyentuh.
Untuk mewujudkan emik, empati dan rasa memang tidak mudah semudah membalikan telapak tangan seperti yang dilakukan oleh banyak pihak yang mendiskreditkan polisi selama ini dengan bahasan dan perilaku yang gersang dari emik, empathi dan rasa. Mengkrisi (bukan:mneghina) memang baik untuk membangun kebaikan yang lebih baik dan meningkatkan prestasi yang prestisius, tapi kita juga tidak boleh lupa dengan kompleksitas persoalan yang terjadi, apalagi ditilik dari fenomena masa bodoh yang tidak jarang diperliahtka. Saya sendiri begiktu mengagumi betapa mulia [ekerjaan sebagai polisi, ketika ada pencurian kendaraan, dengan caranya yang abses dalam pikiran saya sebagai rakyat sipil, mereka bisa dalam waktu dengan mendeteksi tempat di mana pencuri dan kendaraan curian itu berada. Banyak contoh lain yang bisa dikedepankan untuk melihat secara jernih bagaimana kinerja Polisi dalam menjaga kemanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Kritik tajam datang dari mereka yang memandang sebuah kesalahan dengan melupakan begitu banyak kesuksesan yang dicapai polisi. Publik memiliki hak menyuarakan ketidakpuasan terhadap berbagai kasus yang mencederai rasa keadilan, tindakan represif terhadap demonstran, penyelesaian kasus internal yang tertutup, atau ketidaksensitifan terhadap suara korban, namun kita juga tidak dapat menutup mata dengan begitu banyak mereka yang masih mengedepankan nurani untuk melihat, emik, empati dan rasa.
Adalah menjadi tidak seimbang menukar banyak kebaikan dengan satu kesalahan, dan juga adalah tidak adil menghakimi mereka semua hanya karena ulah satu, dan dua oknum. Dalam dilema yang demikia, saya melihat pujian dan caci maki dialami Bhayangkara sebagai ujian untuk naik derajat dan kepercayaan publik. Bhayangkara sejati tidak melayang karena pujian, juga tidak runtuh karena caci, maki, Patriotisme kokoh membawa mereka untuk terus memberikan pelayan yang terbaiik dalam kebijakan publik untuk kemanan dan keadilan.
HUT Bhayangkara adalah kesempatan langka untuk terus mendedikasikan yang terbaik yang kita miliki untuk masyarakat tercinta, negara yang kuat, dan kinerja individual dan institusional yang lebih memuaskan, serta ladang beramal untuk investasi akhirat yang lebih baik. Melalui moment HUT Bhayangkara, sudah saatnya instrumen negara yang bernama polisi memilih arah untuk menjadi polisi yang lebih kuat, yang memberi dharma baikti yang lebih baik untuk publik dan negara.
HUT Bhayangkara menjadi momentum reformasi yang menyentuh nurani, momentum melakukan hijtah transformatif baik secara personal maupun secara institusional, melalui langkah-langkah nyata. Pertama, mendorong penegakan hukum yang humanis dan restoratif, meninggalkan pendekatan keras dan menggantikannya dengan diplomasi sosial yang berpijak pada nilai-nilai keadilan. Kedua, melepaskan diri dari persekongkolan yang merugikan pihak lain, yang bertentangan dengan suara hati nurani.
Sebab, sejatinya persekongkolan untuk merusak orang lain yang dilakukan by design akan berdampak pada kegalauan jiwa, ketenangan hidup, nasib orang-orang yang tersayang disekitar kita. Secara transendental, kita percaya akuntabilitas dari sikap, tindakan dan perilaku kita tidak saja dituntut secara sosial, tetapi juga dipertanggugjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, meningkatkan akuntabilitas dan keterbukaan, baik secara individu maupun kelembagaan, terhadap keluhan dan kritik masyarakat, serta memberikan respon yang lebih baik dan lebih cepat.
Dengan kesadaran dan tanggungjawab demikian, publik semakin bangga dan percaya polisi adalah mitra kepercayaan sejati mereka. keempat, menguatkan pengawasan eksternal secara lebih responsif terutama instrumen negara, seperti Kompolnas dan Ombudsman, dan mengedepankan kesediaan membangun sistem yang membuka ruang partisipasi publik dalam evaluasi institusi.
Kelima, menanamkan nilai empati dan pendekatan emik dalam setiap pelatihan kepolisian, agar polisi tidak hanya cerdas hukum tetapi juga cerdas hati, dan cahaya rasa.
Epilog: Polisi yang Merasa Bersama Rakyat
Di tengah tantangan geopolitik, krisis hukum yang berkeadilan, dan ketidakpastian sosial-ekonomi, melalui moment HUT Bhayangkara 79 ini Polri ditantang untuk tidak sekadar hadir sebagai pelindung negara, melainkan pelindung manusia dengan mengedepankan pendekatan empati dan perspektif emik dan “rasa” sebagai fondasi utama dari wajah baru kebijakan publik keamanan nasional.
Mari kita jadikan Hari Bhayangkara sebagai pesan batin bagi seluruh insan Polri bahwa keberhasilan institusi ini tak bisa dilepaskan dari dukungan dan kepercayaan publik. Ketika publik merasa aman dan adil, maka dalam “rasa” aman dan adil itulah Bhayangkara hidup dalam maknanya yang paling hakiki. Akhirnya kita buka perpesktif yang humanis bahwa menjadi polisi bukan soal kewenangan, tapi soal keberanian untuk merasa, memahami, dan melindungi, serta menegakkan keadilan dan kenyamanan, serta kebermanfaatan yang lebih luas. Sebaai-baik Polri, adalah Insan Polisi yang berani berkata tidak terhadap hal yang bertentang dengan nurani, dan menebar manfaat dengan dengan senyum yang meneduhkan dan uluran tangan yang membimbing di tengah kekeliruan dan kesalahan.
Penulis: Direktur Eksekutif Centre for Public Policy Studies Indonesia (CP2SI) & Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)