
Jaran Bigar, Tari ikon Kabupaten Karanganyar, Sejarah Dan Filosofi-nya

KABUPATEN KARANGANYAR, Harnasnews.com –
Tari Jaran Bigar merupakan bentuk seni pertunjukan dramatik yang diperkirakan lahir dari pergolakan sosial-politik masyarakat Jawa pada paruh kedua abad ke-18, khususnya pasca-Perjanjian Giyanti tahun 1755. Hal tersebut disampaikan Prasetyo, sejarawan dari Yayasan Sengkelad Jagad Lawu.
Pada saat itu rakyat Jawa menghadapi situasi disintegrasi kekuasaan akibat pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua entitas baru yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. ” Peristiwa ini tidak hanya menciptakan dualisme politik, tetapi juga menimbulkan luka kolektif di kalangan rakyat, khususnya para prajurit dan laskar yang sebelumnya tergabung dalam barisan perjuangan Raden Mas Said, yang kelak dikenal sebagai Mangkunegara I ” ungkap Pras.
” Pasca-konflik tersebut, banyak prajurit kembali ke masyarakat sipil tanpa tempat dalam struktur resmi. Namun, ingatan mereka terhadap strategi gerilya, disiplin militer rakyat, dan semangat perlawanan tidak terhapus. Justru dari pengalaman tersebut lahirlah bentuk baru ekspresi budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media pelestarian nilai dan penyampaian narasi kolektif. Jaran Bigar berkembang sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat untuk menyusun ulang identitas, menyimpan memori perjuangan, serta mengekspresikan kritik sosial secara simbolik melalui seni gerak, teater, dan musik ” Paparnya.
Lebih lanjut Prasetyo menjelaskan, secara etimologis, istilah “jaran” dalam bahasa Jawa berarti kuda, lambang kekuatan, kecepatan, dan keberanian. Sementara kata “Bigar”, yang berasal dari varian kata “Bugar”, mengandung makna vitalitas, kesiapan tubuh, dan daya tarik visual. Kombinasi keduanya membentuk representasi tubuh yang lincah dan berenergi, menjadikan Jaran Bigar sebagai simbol kekuatan mobilitas rakyat dalam menghadapi tekanan kekuasaan kolonial maupun feodal.