
Jaran Bigar, Tari ikon Kabupaten Karanganyar, Sejarah Dan Filosofi-nya
“Berbeda dari bentuk jaranan tradisional yang cenderung mistik dan bersifat trance, Jaran Bigar justru mengembangkan pendekatan non-transendental. Ia tampil sebagai pertunjukan dramatik yang menekankan rasionalitas, disiplin tubuh, dan narasi sejarah. Gerak tubuh dalam koreografi Jaran Bigar tidak dimaksudkan sebagai penyaluran ekstase spiritual, melainkan sebagai artikulasi dari strategi militer rakyat, seperti pola spiral, formasi panah, serta langkah cepat dan terstruktur yang merefleksikan taktik gerilya Sambernyawa . Jaran Bigar menjadi instrumen untuk menghidupkan kembali memori strategis perjuangan rakyat ” ujarnya.
Berbeda dengan Tari Bedhaya atau Srimpi yang berkembang di lingkungan istana, Jaran Bigar berakar dari ekspresi rakyat bawah yang menyatu dengan lanskap pedesaan, terutama wilayah Sukawati, Karanganyar, Wonogiri, dan lereng timur Gunung Lawu.
Sebagai pertunjukan, Jaran Bigar memadukan unsur tari, teater, dan musik dalam format yang sistematis namun terbuka terhadap improvisasi. Properti utama berupa kuda kepang bukan digunakan sebagai simbol mistik, melainkan sebagai ekstensi tubuh militer rakyat. Narasi-narasi yang dipentaskan, seperti kisah Panji, perjuangan Sambernyawa, atau konflik lokal seperti Pandan Gugur, tidak hanya menyuguhkan alur dramatik, tetapi juga menyiratkan pesan moral dan refleksi atas situasi sosial-politik yang dialami rakyat. Estetika visual yang digunakan dalam kostum, properti, hingga penataan cahaya berfungsi mendukung pembentukan suasana dan memperkuat artikulasi simbolik.
” Dalam konteks performa, Jaran Bigar juga berfungsi sebagai medium pendidikan budaya dan pembentukan karakter. Koreografi yang menuntut koordinasi tubuh, ketepatan ritme, serta penguasaan emosi menjadikannya setara dengan latihan fisik dan psikologis dalam seni bela diri atau teater. Melalui proses latihan dan pementasan, para pelakunya menginternalisasi nilai-nilai seperti ketekunan, kebersamaan, tanggung jawab kolektif, dan keterbukaan terhadap tradisi” tambah Prasetyo.
Dengan demikian, Jaran Bigar tidak hanya merepresentasikan kekuatan estetik sebuah tradisi seni, tetapi juga menjadi arsip tubuh dari perjuangan rakyat Jawa. Ia memanifestasikan ingatan kolektif dalam bentuk yang hidup dan terus berkembang, menjadi sarana untuk menghidupkan kembali narasi-narasi alternatif di luar sejarah resmi, serta mengafirmasi eksistensi rakyat sebagai subjek aktif dalam sejarah kebudayaan Jawa. Jaran Bigar adalah warisan budaya yang bukan sekadar lestari dalam bentuk, tetapi juga berkelanjutan dalam nilai dan makna sosialnya. ( Sunyoto ).