Bayang-Bayang Oligarki Di Balik Konflik Internal Partai Politik

Maraknya kasus konflik internal partai politik di Indonesia pasca Reformasi dalam realitasnya cenderung tidak dapat dipisahkan dari adanya andil segelintir pihak yang umumnya memiliki sumber daya dan pengaruh yang biasanya disebut sebagai oligarki. Adapun, istilah oligarki sendiri secara historis merupakan istilah yang sudah eksis sejak masa peradaban Yunani Kuno yang merujuk pada bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh sekelompok kecil elit masyarakat yang didasarkan atas kekayaan, keluarga dan militer. Selain itu, pemahaman lainnya terhadap istilah oligarki dapat merujuk pada pandangan yang disampaikan oleh Jeffrey A. Winters yang menjelaskan oligarki sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya”. Dalam hal ini, Winters juga mengatakan bahwa oligarki memiliki dasar kekuasaan kekayaan material yang sangat sulit untuk dipecah dan diseimbangkan, hal tersebut dikarenakan Oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistematis, walaupun oligarki memiliki posisi minoritas dalam suatu komunitas. Terlebih, teorisasi oligarki sebenarnya dimulai dari adanya fakta bahwa terdapat ketidaksetaraan material yang cukup ekstrem hingga menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem juga. Walaupun dalam demokrasi, kedudukan dan akses terhadap proses politik dimaknai setara, akan tetapi kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Pasalnya, semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material maka akan makin besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam motif dan tujuan politiknya. Dengan demikian, ketidaksetaraan yang besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh politik.
Kemudian dalam mendefinisikan mengenai Oligarki, Winters menjelaskan mengenai konsep pertahanan kekayaan (wealth defense). Sebagai aktor yang memiliki kekayaan yang banyak, terlebih lagi kekayaan material yang terkonsentrasi pada minoritas, selalu mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau mendistribusi ulang kekayaan tersebut. Hal ini dimaknai sebagai pengambilalihan sumber daya material dari oligarki. Maka dari itu, dinamika politik yang melekat dalam diri para oligarki umumnya akan selalu berhubungan dengan ancaman tersebut, dan bagaimana mereka kemudian berusaha untuk mempertahankannya. Bahkan, pertahanan kekayaan oleh para oligarki ini setidaknya terdiri atas dua komponen, yaitu pertahanan harta (property defense) dan pertahanan pendapatan (income defense). Dengan hal tersebut, Winters mendefinisikan Oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material”. Selain itu, Winters juga menyajikan aspek penting dari oligarki, yaitu terkait dengan kekayaan yang menjadi sumber daya material bagi kekuasaannya dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis.
Aspek pertahanan kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan ini kemudian menentukan bagaimana Oligarki akan berdiferensiasi dalam berbagai bentuk. Cara pertahanan ini mengacu pada beragam konteks politik dan periode sejarah. Oleh karena itu, definisi dari oligarki bisa tetap, akan tetapi bentuknya bisa berbeda-beda. Dalam suatu masa, oligarki bisa terlibat secara langsung dalam politik, tapi dalam suatu masa juga tidak. Sedangkan di sisi lain, oligarki terlibat secara aktif dalam mempertahankan kekayaan dengan senjata, tapi dalam masa yang lain tidak bersenjata, dan sebagainya. Perbedaan tersebut sebagai taktik yang berhubungan dengan bagaimana pertahanan atas kekayaan dilakukan. Semakin tinggi kebutuhan untuk mempertahankan kekayaan, maka terjadi kecenderungan bahwa oligarki akan semakin banyak terlibat dalam kekuasaan politik. Hal tersebut terjadi juga bila didukung oleh sistem politik yang memungkinkan adanya gangguan atas hak milik dan kekayaan. Hal sebaliknya, bila dalam sebuah sistem politik, hak milik dan kekayaan dilindungi secara ketat, maka oligarki bisa saja tidak perlu terlibat secara aktif dalam perebutan kekuasaan. Oligarki tidak selalu merujuk mengenai segala tindakan politis yang dilakukan oligarki dengan menggunakan uang dan kekuasaannya. Melainkan, tidak jarang oligarki mengerahkan sumber daya materialnya di berbagai macam isu dan pertarungan politik yang menjadi perhatiannya namun hal tersebut tidak berhubungan langsung dengan pertahanan kekayaan. Ketika oligarki melakukan hal tersebut, potensi dan kekuasaan individunya dapat menyerupai potensi dan kekuasaan berbagai pelaku yang menjalankan agendanya lewat kelompok kepentingan atau kelompok pluralis.
Dalam hal ini, kecenderungan-kecenderungan yang dijelaskan oleh Winters tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menjelaskan tentang motif-motif yang mendasari keterlibatan oligarki dalam politik khususnya yang berkaitan dengan konflik internal dalam partai-partai politik. Adapun, hal tersebut setidaknya dapat merujuk pada kasus yang sempat mencuat dalam internal Partai Golkar pasca Reformasi yang dalam realitasnya justru berujung pada kemunculan partai-partai politik baru, seperti Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Berkarya dan lain sebagainya. Pasalnya, kemunculan partai-partai politik baru tersebut dalam perkembangannya kemudian juga memunculkan eksistensi oligarki-oligarki baru yang secara konkret berusaha untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing tatkala sebelumnya mereka terbilang gagal untuk melakukan hal tersebut di Partai Golkar. Sebut saja seperti Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh dan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang dalam perkembangannya kemudian seringkali melakukan sejumlah manuver politik untuk tetap dapat menunjukkan eksistensinya seperti dengan mencalonkan diri menjadi pejabat publik ataupun memainkan peranan sebagai pembuat keputusan-keputusan penting dalam politik atau yang kerap disebut sebagai sosok king maker.
Sedangkan di sisi lain, pola berbeda justru dapat dilihat dalam kasus yang menimpa internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 2015-2016 dengan kekisruhan Partai Demokrat baru-baru ini dimana sosok oligarki yang eksis di dalam internal kedua partai tersebut justru tidak berujung pada perpecahan yang menghasilkan partai-partai baru yang sebagaimana dialami oleh Partai Golkar. Pasalnya, dalam kasus PPP dan Partai Demokrat dapat dilihat bahwa sosok oligarki yang dianggap terlibat justru lebih diidentifikasikan sebagai pihak yang berasal dari eksternal partai yang dalam realitasnya seolah memanfaatkan eksistensi dari salah satu faksi atau kubu dalam internal kedua partai tersebut untuk dapat mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Dalam kasus PPP, banyak spekulasi yang beredar kala itu menunjukkan bahwa oligarki-oligarki politik yang eksis saat itu dianggap memanfaatkan keberadaan kubu Romahurmuziy untuk dapat mengubah posisi PPP agar dapat masuk menjadi bagian dari pendukung pemerintah. Apalagi hal ini diperkuat tatkala PPP akhirnya mendapatkan jatah pos kementerian Agama di kabinet Jokowi-JK dan secara resmi bergabung menjadi pendukung pemerintah. Sedangkan dalam kasus Partai Demokrat, pola yang terjadi justru relatif berbeda karena mengingat adanya keterlibatan langsung dari sosok Moeldoko yang merupakan bagian dari pejabat pemerintahan. Meskipun spekulasi yang mencuat menganggap bahwa keterlibatan Moeldoko dan kemunculan faksi kontra Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di internal Partai Demokrat lebih ditengarai sebagai upaya secara tidak langsung yang dilakukan oleh para oligarki politik yang seolah berkepentingan untuk mengubah posisi Partai Demokrat menjadi bagian dari pendukung pemerintah sebagaimana yang terjadi dalam kasus PPP. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa konflik internal partai politik yang kerap terjadi di Indonesia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari adanya bayang-bayang campur tangan para oligarki yang berkepentingan untuk memengaruhi serta mengubah posisi partai-partai politik agar dapat sesuai dengan kepentingannya sendiri. Terlebih, tujuan itu semata-mata tidak dapat dipisahkan dari bagian upaya mereka untuk melakukan pertahanan kekayaaan yang sebagaimana diungkapkan oleh Jeffrey A. Winters sebelumnya.

Catatan : Artikel asli dari Penulis, segala implikasi akibat Artikel tersebut menjadi  tanggung jawab Penulis. (Red).

Leave A Reply

Your email address will not be published.