
Meskipun hingar-bingar peringatan Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei memang telah berlalu. namun persoalan struktural yang membelit kehidupan kelas pekerja Indonesia masih masih tetap menjadi realitas sosial yang jauh dari selesai. Ketimpangan sosial-ekonomi yang mereka hadapi tetap nyata dan mendesak untuk menjadi perhatian serius dari semua pemangku kepentingan yang memiliki sense of belonging terhadap keadilan sosial.
Demonstrasi dan yel-yel seruan keadilan yang menggema dalam peringatan May Day seakan menjadi cermin dari realitas kepahitan yang mereka alami. Tahun ini, suasana tersebut terasa semakin ironis ketika laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin jika merujuk pada standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas, yakni US$6,85 PPP per hari atau sekitar Rp1,15 juta per bulan.
Data tersebut secara gamblang membongkar wajah ganda narasi statistik kemiskinan nasional yang selama ini dibangun. Klaim Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tingkat kemiskinan Indonesia hanya 8,57 persen terendah sepanjang sejarah menjadi kontradiktif dengan laporan Bank Dunia. Perbedaan ini bukan semata persoalan metodologis, melainkan penegas akan adanya jurang kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin menganga. Ketidaksesuaian ini mengaburkan kemiskinan struktural yang justru paling banyak dialami para buruh, terutama yang bekerja di sektor informal.
Mereka rentan terhadap pemutusan hubungan kerja, hidup tanpa jaminan sosial yang layak, serta menghadapi sistem upah minimum yang bahkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi untuk mencapai kesejahteraan yang bermartabat.
Perbedaan tajam antara garis kemiskinan versi BPS (Rp595.242/bulan) dan Bank Dunia (Rp1,15 juta/bulan) memperlihatkan bahwa negara masih memandang kesejahteraan buruh sebatas pada kelangsungan hidup minimum, ketimbang kehidupan yang bermartabat. Statistik semu semacam ini dapat meninabobokan kesadaran kritis publik, melemahkan urgensi reformasi kebijakan publik yang berpihak pada buruh, dan pada akhirnya menegaskan perlunya kehadiran negara secara nyata dan empatik dalam menjawab tuntutan yang mereka suarakan seperti desakan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lebih partisipatif, penghentian PHK massal, penciptaan lapangan kerja yang bermutu, hingga perlindungan atas hak berserikat, berunding, serta penguatan hubungan industrial yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Relasi industrial yang timpang, dominasi oligarki dalam struktur ekonomi, serta absennya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi pekerja (ḥifẓ al-māl) telah menciptakan ketidakadilan yang sistemik. Dalam perspektif Islam, hubungan antara ṣāḥib al-māl (pemilik modal) dan pekerja semestinya dilandasi pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan penghargaan atas kontribusi masing-masing. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial belum mewujud dalam praktik ekonomi nasional.
Di sinilah ekonomi Islam hadir sebagai solusi alternatif yang komprehensif. Dengan pendekatan yang holistik dan berkeadilan, ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual secara terpadu. Al-Qur’an secara tegas melarang konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir elite (QS. Al-Hasyr: 7), dan menuntut adanya distribusi sumber daya yang adil dan egaliter. Setiap individu berhak menikmati hasil pembangunan sesuai kontribusi dan kebutuhannya.
Beberapa instrumen strategis keuangan sosial Islam dapat dioptimalkan untuk merespons persoalan pekerja, seperti zakat, wakaf, dan takaful. Potensi zakat nasional pada 2024 diperkirakan mencapai Rp327 triliun, namun hingga kini baru terealisasi sekitar Rp26,13 triliun. Optimalisasi zakat dapat digunakan sebagai pembiayaan pendidikan bagi anak buruh, pelatihan keterampilan kerja, dan penyediaan modal usaha produktif. Zakat tidak hanya berfungsi secara karitatif, tetapi juga sebagai instrumen struktural dalam pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan pekerja.
Wakaf uang juga memiliki potensi besar. Estimasi nilai wakaf mencapai Rp180 triliun, sementara realisasi penghimpunannya baru sekitar Rp2,9 triliun. Inovasi integratif seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) menunjukkan contoh keberhasilan integrasi keuangan sosial dan komersial Islam. Kolaborasi antara wakaf dan sukuk negara dapat dikembangkan lebih lanjut untuk membangun infrastruktur sosial—seperti perumahan buruh, klinik kesehatan, dan sekolah anak pekerja—sehingga berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup kelas pekerja.
Sementara itu, instrumen takaful sosial atau asuransi syariah juga menunjukkan pertumbuhan positif, dengan premi mencapai Rp17,63 triliun dan aset sebesar Rp45,75 triliun pada 2024. Sayangnya, pemanfaatannya untuk proyek perlindungan sosial tenaga kerja masih sangat minim. Oleh karena itu, negara sebagai aktor supra sosial perlu menghidupkan kembali peran lembaga ḥisbah yakni pengawas moral dan ekonomi guna memastikan akses, keadilan distribusi, sistem upah yang adil, serta pengendalian harga yang etis.
Reformasi struktural atas kelembagaan pengawasan dan penegakan keadilan menjadi kunci agar perjuangan kaum buruh tidak lagi sebatas seremonial tahunan, tetapi menjadi gerakan transformatif menuju masyarakat yang lebih beradab. May Day harus menjadi momentum untuk mengubah paradigma pembangunan dari yang semata-mata menempatkan buruh sebagai beban ekonomi, menjadi penggerak utama pembangunan nasional. Dengan mengusung prinsip keadilan, keberkahan, dan distribusi maslahat, ekonomi Islam menawarkan solusi yang inklusif dan transformatif bagi perjuangan kelas pekerja Indonesia.
Penulis: Wakil Ketua Komite Tetap Perencanaan Ekonomi Mikro, Makro, dan Syariah KADIN Indonesia Bidang Perbatasan