
Keterlambatan Proyek Drainase di Lhoksukon Diduga Rugikan Pedagang, Dana DP Dipertanyakan
Aceh Utara, Harnasnews – Proyek peningkatan sistem drainase perkotaan di Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, menjadi sorotan setelah adanya keluhan masyarakat terkait lambannya progres pekerjaan dan dampaknya terhadap aktivitas ekonomi pedagang. Proyek yang dilaksanakan oleh CV. Kokoh Prima dengan nilai kontrak Rp1.571.526.000 ini bersumber dari APBD Kabupaten Aceh Utara melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman.
Berdasarkan dokumen kontrak Nomor 610/45/E.1/SP/PRKP/2025, pekerjaan dimulai pada 12 Agustus 2025 dan dijadwalkan selesai pada 29 Desember 2025, dengan perencanaan oleh CV. Artha Prisma Consultant. Namun, hingga saat ini, pekerjaan disebut berjalan lamban dan memunculkan keresahan di kalangan pedagang dan masyarakat sekitar kawasan ruko pusat kota Lhoksukon.
Sejumlah pedagang mengeluh dan mengaku mengalami penurunan pendapatan karena akses jalan menuju ruko terganggu akibat galian drainase yang memotong jalur pembeli. Kondisi ini diperparah dengan minimnya jumlah pekerja yang dikerahkan kontraktor di lapangan.
Tokoh Kabupaten Aceh Utara, H. Mansyur lebih akrab di sebut dengan panggilan Gechik Mansyur, kepada wartawan mengatakan. “Pekerja hanya beberapa orang, akibatnya pekerjaan lamban dan pedagang yang mencari nafkah di sini sangat dirugikan.” Ujarnya, senin (27/10/2025).
Ia menyebutkan, seharusnya pekerjaan dilakukan bertahap, bukan membongkar seluruh jalur sekaligus, agar aktivitas ekonomi masyarakat tetap berjalan normal.
Gechik Mansyur juga mempertanyakan penggunaan uang muka (DP) proyek yang menurutnya seharusnya dapat menunjang percepatan pekerjaan.
“Dana DP biasanya bisa digunakan untuk menyelesaikan 50 sampai 60 persen volume pekerjaan. Yang jadi pertanyaan, kemana dana itu sehingga pekerjaan lamban?” ujarnya.
Ia menilai, kontraktor kurang memahami dinamika sosial dan kebutuhan masyarakat setempat, terlebih proyek berada di tengah kawasan perdagangan padat aktivitas.
Tak sampai disitu, Pemutusan jaringan air bersih dinilai sangat merugikan warga. Selain terganggunya aktivitas ekonomi, pemutusan jaringan air PDAM untuk sebagian ruko di sekitar lokasi proyek juga dikeluhkan warga. Warga mengaku harus membayar biaya penyambungan ulang, padahal menurut Bos GM, biaya tersebut tercantum di dalam paket pekerjaan.
“Warga sampai memaki maki kontraktor dan pemerintah setempat, tapi saya jelaskan ini bukan salah pemerintah. Ini akibat kontraktor yang tidak memahami kondisi masyarakat di lokasi,” ungkapnya.
Gechik Mansyur menilai, persoalan utama terletak pada pemilihan rekanan yang tidak mempertimbangkan kapasitas dan kedekatan sosial dengan daerah setempat.
“Kontraktor bukan orang Aceh Utara, jadi mereka tidak punya kepentingan sosial di sini. Akhirnya dikerjakan asal-asalan,” katanya.
Menurutnya, pemilihan kontraktor seharusnya mengutamakan perusahaan yang benar-benar memahami medan dan kultur masyarakat lokal, bukan berdasarkan potongan nilai penawaran.
Ia berharap pemerintah daerah dan Dinas terkait segera menegur dan mengevaluasi kontraktor, serta menambah jumlah pekerja agar proyek cepat selesai dan tidak semakin merugikan pedagang.
“Kalau rekanan tidak punya modal, carikan solusinya. Yang penting pekerjaan harus cepat dan tidak merugikan masyarakat,” tegasnya.
Masyarakat juga meminta adanya pengamanan jalur akses, agar tidak terjadi kecelakaan di sekitar galian drainase.
Dalam kesempatan itu, Geuchik Mansyur juga menyampaikan terima kasih kepada Bupati Aceh Utara dan Dinas terkait atas upaya pembangunan drainase di pusat kota Lhoksukon. Ia berharap proyek ini dapat diselesaikan dengan baik dan berkelanjutan, sehingga Lhoksukon dapat tumbuh menjadi kota yang layak dan menjadi kebanggaan masyarakat sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Utara. Sebagaimana harapan kita bersama untuk menjadikan Lhoksukon sebagai kota yang tertata dan nyaman seperti kabupaten lainnya di Aceh.
Sejauh ini, pihak media belum berhasil menghubungi pihak rekanan maupun Dinas terkait untuk mengonfirmasi dan meminta tanggapan resmi mengenai lambannya pelaksanaan pekerjaan tersebut. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan.
Proyek drainase di Lhoksukon yang seharusnya menjadi bagian dari pengembangan tata kota justru memunculkan persoalan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Lambannya progres, dugaan mismanajemen penggunaan DP, hingga tidak adanya mitigasi dampak pekerjaan terhadap pedagang, kini publik menuntut transparansi dan tindakan cepat dari pemerintah Aceh Utara. (Zulmalik)
