KPA Soroti Tiga Persoalan Dominasi Konflik Sengketa Lahan di Jakarta

JAKARTA,Harnasnews.com – Baru-baru ini ratusan warga di Jakarta Timur melakukan demonstrasi ke Kantor Pertanahan BPN Jakarta Timur menuntut realisasi penerbitan sertipikat tanah sebagai bentuk tindak lanjut Program Pendaftaran PTSL yang telah dilakukan sejak tahun 2018.

Problem pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh Oknum BPN dan Pokmas masih kerap ditemukan di lapangan. Hari Jum’at (23/8) yang lalu warga Kayu Mas Pulogadung juga melakukan aksi demonstrasi dengan cara mengubur diri sebagai bentuk perlawanan terhadap klaim sepihak oleh sebuah Perusahaan/BUMN atas pemukiman yang didiami warga.

Konflik-konflik atau sengketa pertanahan/Agraria sepertinya akan terus muncul dan sulit terselesaikan, hal ini disebabkan karena setidaknya ada 3 (tiga) masalah utama dalam proses pembaharuan Agraria. Persoalan pertama, tidak cukup memadainya ketersediaan Regulasi/Peraturan tekhnis yang mengatur tentang Reforma Agraria. Kedua, penentuan subyek dan obyek tanah/lahan yang masih bersifat top down dan ketiga, ego Sektoral antara lembaga negara dalam hal ini kementerian terkait yang mengakibatkan tarik-menarik dan tumpang-tindihnya kebijakan reforma agraria.

Hal ini di sampaikan Roni Septian Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsosrsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam diskusi Pertanahan yang diselenggarakan Lembaga Kebangunan Jakarta (LKJ) di salah satu caffe, kawasan Utan Kayu, Matraman, Jaktim, kemarin.

“Target Pemerintahan Jokowi pada periode pertama tentang tedistribusi lahan yaitu sebanyak 9,7 Hektar masih sangat sulit tercapai. Apalagi redistribusi tanah hutan yang rencananya akan mendistribusikan sebanyak 4,2 Hektar hingga akhir periode pertama Jokowi baru mencapai diangka 1% yang sudah terdistribusikan,” ujar Roni.

Kondisi tersebut ditengarai karena penetapan subyek dan obyek reforma agraria yang tidak jelas, Pemerintah Jokowi seperti kesulitan menentukan peta bidang Reforma Agraria dan kepada siapa distribusi lahan tersebut akan diberikan. Sehingga Program Reforma Agraria menjadi kurang tepat sasaran dan tetap tidak mampu mengurangi konflik-konflik agraria yang masih kerap terjadi.

Kebijakan Reforma Agraria diharapkan mampu menciptakan pemerataan kepemilikan tanah bagi rakyat dengan dasar yang berkeadilan Sosial. Bahwa Cita-cita para pendiri bangsa adalah terciptanya masyarakata yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Prasyarat untuk mencapai itu adalah jika warga memiliki alat produksinya dalam hal ini lahan atau tanah atau hunian, maka Presiden Soekarno menerbitkan Undang-undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Agraria.

Diskusi Lembaga Kebangunan Jakarta (LKJ) menghadirkan juga Dwi Rio Sambodo Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta sebagai keynote Speaker. Pilihan terhadap Dwi Rio Sambodo karena yang bersangkutan pernah menjabat sebagai Ketua Pokja Pertanahan DPRD Provinsi DKI Jakarta periode 2015-2019.

Dalam penyampaiaannya Dwi Rio Sambodo lebih banyak menyampaikan cita-cita Ideologis Pendiri bangsa Khususnya Bung Karno tentang bagaimana gagasan Reforma Agraria ¬(Land Reform) dalam kondisi Indonesia merdeka. Karena Hakekat kemerdekaan juga adalah harus adanya perubahan struktur kepemilikan tanah, dari kolonialisme Belanda ke bangsa Indonesia.

“Bung Karno menyampaikan bahwa Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,” ujar Dwi Rio Sambodo yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur.

Diskusi Rutin LKJ dengan title Diskusi Djigoan mengambil tema “Tanah Untuk Rakyat dan Problematika Jakarta’ menghadirkan para narasumber dari para aktifis pertanahan, selain Roni Septian dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tampak hadir pula Dedy Rachmadi, Kepala Departemen Litbang & Kajian LKJ/Pengamat Tata Ruang Perkotaan dan Gilbert Pasaribu ketua LBH Lentera Rakyat. Diskusi dipandu oleh Moderator Lukman Hakim (Tan el Hak) Sekjen LKJ.(sof)

Leave A Reply

Your email address will not be published.