Managemen Stres, Problematika Kesehatan Mental di Era Society 5.0

Nasional

Oleh:
BT.Harry sasono
BT. Bhaskara ardy
BT. Aqlizar
BT. Raihan Argya

Data riset Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa 94 persen dari penduduk Indonesia mengalami depresi. Mulai dari yang ringan hingga berat.

Bahkan, World Health Organization (WHO) memprediksi pada 2020, depresi akan menempati peringkat kedua terbesar setelah penyakit kardiovaskuler.

Dalam hal masalah kesehatan yang paling banyak terjadi
stres adalah suatu reaksi dari tubuh terhadap lingkungan yang dapat melindungi diri individu yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang membuat kita dapat bertahan hidup (Nasir dan Muhith, 2011).

Jika stres tersebut tidak terselesaikan secara cepat dan benar, dapat berlanjut sampai masa dewasa dan akan berkembang lagi ke arah yang lebih negatif seperti kondisi psikotik kronis (Indarjo, 2009).

Remaja yang tidak mampu dalam pengelolaan stres yang baik juga dapat menimbulkan gangguan dalam proses perkembangannya.

Selain itu, remaja akan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitarnya, remaja yang mengalami stres akan sulit dalam menyelesaikan tugas perkembangannya sehingga dapat menimbulkan terganggunya pembentukan identitas diri pada remaja (Psikologi Mania, 2016).

Kesehatan mental menurut seorang ahli kesehatan Merriam Webster, merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat memanfaatkan kemampuan kognisi dan emosi, berfungsi dalam komunitasnya, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Inti dari kesehatan mental sendiri adalah lebih pada keberadaan dan pemeliharaan mental yang sehat. (dewi, 2012). Perkembangan zaman di era globalisasi ini yang perubahan terjadi sangat cepat menjadikan masyarakat dunia dihadapkan pada berbagai permasalahan.

Banyak tuntutan yang harus dicapai oleh masing-masing orang agar dapat berkembang maju dalam persaingan yang sangat ketat seperti sekarang.

Jika tidak bergerak cepat maka akan tertinggal oleh orangorang lain yang lebih giat belajar dan lebih banyak menempa dirinya agar dapat menjadi yang utama.

Tuntutan demi tuntutan yang terus menekan dari luar diri namun jati diri belum sempurna terbentuk menjadi factor utama yang mempengaruhi perkembangan stimulus pikologi remaja menjadi terganggu karena pada fase ini remaja masih dalam masa pengenalan terhadap diri nya secara utuh dan mengenali lingkungannya.

Dalam sebuah lingkungan social pertemanan seorang remaja akan berinteraksi dengan banyak orang, terlebih saat ini perkembangan modernisasi dan globalisasi yang tak dapat dihentikan.

Seperti pada tahun 2019 lalu, di Jepang sudah dicetuskan bahwa kini kita sedang menyongsong peradaban baru sebuah era society 5.0 dan meninggalkan revolusi industry 4.0. Di mana pada fase sebelumnya yang dianggap kurang cocok, dengan demikian memungkinkan remaja memiliki kelompok social yang lebih luas dan beragam.

Interaksi kian mudah dan cepat dengan didukung oleh jaringan yang setiap hari terus berkembang, dengan beragamnya interaksi di dunia maya maupun dunia nyata tersebut membuat seorang remaja akan mengenal orang dari banyak latar belakang yang berbeda.

Teman sebaya adalah sumber penting bagi dukungan emosional selama masa remaja, teman sebaya juga dapat menjadi sumber kasih sayang, pengertian, simpati, tuntutan moral, tempat untuk melakukan eksperimen, dan sebagai sarana mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua.

Teman sebaya biasanya sangat berpengaruh pada masa remaja awal dan memuncak pada usia 12-13 tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Faktanya, pada masa remaja seseorang akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya dibandingkan dengan orang tua.

Tuntutan mengikuti pembelajaran formal disekolah, pembelajaran tambahan di kelas privat dan mengikuti ekstrakulikuler merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh seorang remaja dalam menjalani hari harinya.

Sehingga karakter seseorang yang dijadikan teman pun akan sangat berpengaruh pada perkembangan remaja.

Hubungan kelompok teman sebaya yang positif akan memberi hasil pada prestasi akademik dan keterlibatan dalam kegiatan sekolah.

Aspek perkembangan kognitif dilihat dari sudut pandang pendekatan konstruktivis sosial Vygotsky.”(dalam Santrock, 2011).

Remaja pada proses tumbuh kembangnya sangat di pengaruhi oleh lingkungan. Karena ia akan merekam visual apa yang menajadi kebiasaan dan tingkah laku lingkungan sekitar, mendengarkan apa yang menjadi buah bibir di sekelilingnya, dan mengingat apa yang ia lakukan setiap hari.

Segala aspek proses merekam tersebut terjadi dimasa remaja akan membentuk karakter diri dengan demikian dalam fase ini sangat dibutuhkan peran dari orang tua untuk mengarahkan anaknya menjalin hubungan emosional pertemanan dengan lingkungan yang tepat.

Dengan banyaknya tuntutan dan tekanan terhadap diri baik itu diri sendiri atau dari lingkungan menuntut remaja menemukan sebuah cara untuk bisa memenajemen apa yang sedang ia alami dan rasakan,dengan teknologi yang super canggih sekarang,ada banyak cara untuk dapat mengakses kebiasaan kebiasaan orang dari banyak latar belakang.

Sehingga kemungkinan untuk seorang remaja menentukan sebuah keputusan yang salah dalam melampiaskan beban atau tekanan mental yang ia alami juga semakin besar. Yaitu mengonsumsi acohol, narkotika, seks bebas merupakan momok yang  siap menggerogoti remaja yang keliru memanejemen stres.

Namun yang harus disadari adalah pelampiasan yang demikian sama sekali tidak membantu untuk menghilangkan beban dan tekanan yang dirasakan remaja,beban dan tekanan yang menyerang jiwa tersebut lazimnya disebut depresi.

Secara medis, depresi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi gangguan jiwa, yaitu saat seseorang merasakan perasaan sedih dan tertekan yang mendalam.

Perasaan tersebut dapat membuat seseorang kehilangan gairah hidup dan minat terhadap segala sesuatu. (halodoc, 2018). Depresi memiliki gejala yang beragam, tergantung tingkat keparahannya.

Namun, satu hal yang pasti adalah orang yang depresi biasanya mengalami perasaan sedih dan cemas yang berlarut-larut.

Mereka akan merasa seolah terjebak dalam kondisi yang sangat putus asa dan tidak ada yang mampu memahami mereka.

Dalam berbagai terapi penyembuhan gangguan kesehatan jiwa, ‘bercerita’ merupakan salah satu metode yang masih diyakini ampuh. Dengan bercerita pada orang yang dipercaya, kita bisa mengurangi setidaknya separuh dari beban yang dirasakan.

Dengan bercerita, apalagi pada sahabat yang tentunya sudah saling mengenal secara lebih intim dan memahami sesuatu yang membuat sedih maupun senang setidaknya dapat membuat kita merasa ada tempat untuk bersandar, mendengarkan masalah kita, dan membuat kita merasa tidak sendirian.

Leave A Reply

Your email address will not be published.