Netralitas Dalam Pilpres dan Problem Moralitas Aparatur Negara

Oleh: Agus Wahid

Kian mendekati penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres), kian dikumandangkan urgensi netralitas aparatur negara dari anasir TNI, POLRI dan ASN. Tentu, punya makna yang sangat substansial. Yaitu, hasil pilpres yang dilandasi netralitas para aparatur negara benar-benar merupakan pilihan bebas, tanpa tekanan. Sesuai nurani. Kualitas hasil pilpres ini akan menjadikan pemimpin yang terpilih legitimate.

Hal itu berpengaruh besar bagi perkembangan negara secara konstruktif. Tidaklah berlebihan jika muncul opini, pilpres tanpa intervensi aparatur negara akan mengantarkan negara berkemajuan dalam berbagai aspeknya, termasuk capaian kemakmuran yang berkeadilan. Di sanalah kita akan saksikan negara menjadi berwibawa. Seluruh langkah yang diambil negara (pemerintah) akan direspon secara positif. Rakyat benar-benar happy dengan sosok pemimpin yang dihasilkan dari pilpres yang jujur dan bebas dari campur tangan jahil aparatur negara. Inilah kondisi yang mendorong berbagai elemen masyarakat menghendaki netralitas mereka.

Sangat disayangkan, di tengah keinginan netralitas aparatur TNI-POLRI dan ASN, terdapat pemandangan yang sangat kontras netralitas itu. Di satu sisi, fakta di lapangan terlihat, sejumlah aparat POLRI dan satuan Pamong Praja dengan seragam dinasnya mencabuti baliho-baliho salah satu pasangan calon (Ganjar-Machfud). Juga, terdapat ikhtiar mobilisasi aparatur desa sampai ke RT-RW untuk memenangkan salah satu pasangan calon (Prabowo-Gibran).

Di sisi lain, PDIP seperti yang terlihat di Boyolali dan Jawa Tengah pada umumnya ada instruksi kepada aparatur ASN untuk memilih pasangan Ganjar-Machfud. Jika tidak tunduk, akan dimutasi ke lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan, ada instruksi kepada seluruh kepala daerah yang berasal dari PDIP untuk menggunakan sebagian dana APBD guna memenangkan pasangan No. 3. Serupa tapi tak sama, terdapat instruksi kepada seluruh ASN secara nasional untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran dengan cara apapun. Ada moral hazard yang siap dimainkan secara massif-ekstensif. Itulah kecurangan yang sudah tampak disett up.

Kita perlu mencatat, siapapun kontestan berhak mengartikulasikan kepentingan pribadinya, apalagi untuk tujuan mulia. Yaitu, cita-cita kebernegaraan. Namun, tindakan moral hazard itu merupakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan pribadi dan atau golongan. Bukan kepentingan negara. Dalam kaitan abuse of power pula, kasus lama yang bergulir sejak pasca pilpres yaitu Harun Masiku (HM) dimunculkan kembali. Awalnya, HM dikabarkan raib (wafat). Tapi, belum lama ini KPK menyatakan tahu keberadaannya dan segera menangkapnya.

Raib dan munculnya keberadaan HM menggambarkan di satu sisi rezim dan PDIP pasca pilpres hingga jelang masa pendaftaran capres-cawapres tergolong masih kompak. Sama-sama berkepentingan untuk menyembunyikannya. Namun, setelah pendaftaran resmi capres-cawapres, Jokowi versus Megawati yang berbeda jagoannya, menjadikan HM sebagai komoditas politik untuk saling mendeskreditkan. Firli Bahari sebagai Ketua KPK pun dipaksa harus mengikuti permainan di antara keduanya mana yang lebih kuat. Apapun judul permainan itu, intinya terjadi abuse of power di antara kedua penekan itu. Firli selaku Ketua KPK tak berdaya, apalagi dirinya juga sedang menghadapi proses hukum atas kasus dirinya terkait pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.

Apapun sektor yang sedang dimainkan, kita tak bisa menutup mata bahwa penyalahgunaan kekuasaan itu secara integral langsung menimbulkan gesekan kuat di lapangan. Di antara kedua pasangan calon (paslon) langsung terjadi konflik diametral. Tak ingat lagi dulunya saling bersahabat kental secara politik. Kemesraan mereka langsung berubah, bukan hanya lawan, tapi musuh yang saling menyikat. Tata-krama politik pun sirna. Yang terjadi secara dominan adalah makian, secara satiris ataupun kasar. Sebagian rakyat lapis bawah terutama pendukung di antara kedua paslon itu pun ikut terkontaminasi. Jadilah pemandangan konfliktual secara horisontal. Tidak hanya di level elitis saja.

Implikasinya, pilpres yang diwarnai suasana kebatinan penuh konflik itu hanya akan menghadirkan residu politik yang tak sedap. Tak mudah untuk mengakurkan dalam tempo cepat. Di level elit, kemungkinan cepat melumer: kembali ke suasana tanpa konflik pasca pilpres. Tapi, beda dengan level grassroot. Kondisi ini akan menjadi kendala serius ketika harus membumikan kebijakan bagi rezim pemenang, terutana dari di antara dua paslon yang saling berbenturan atau bermusuhan itu. Inilah potret sosial-politik yang harusnya disadari untuk dijauhi.

Satu hal yang perlu perlu kita catat secara mendasar, penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara sesungguhnya menodai martabat atau mawah negara, bahkan secara ekstrim bisa dinilai mengkhianati cita-cita bernegara. Landasannya, negara yang sesungguhnya ideal jatidirinya menjadi korban atau pihak tertuduh. Institusi negara menjadi tercemar akibat ulah penyelenggara. Akan terjadi ketidakpercayaan (distrust) publik kepada negara. Itulah sebabnya, penyalahgunaan kekuasaan itu membuat marwah negara terdegradasi citranya (negatif). Karena itu, pantaslah tindakan penyalahgunaan kekuasaan dinilai sebagai pengkhianat.

Penilaian itu tak lepas dari perjalanan historis didirikannya sebuah negara. Fakta historis berdirinya sebuah negara tak lepas dari perjuangan yang penuh pengorbanan. Bagi sebuah bangsa terjajah, proses mendirikan negara dilalui dengan perjuangan ekstra, secara fisik, mental, pikiran, harta dan nyawa. Perjuangan itu karena dilandasi sebuah cita-cita. Bukan sekedar negara berdiri, tapi bagaimana harus menghadirkan rasa kebebasan dari cengkeraman kolonial. Lebih dari itu, juga diisi dengan cita-cita konstruktif seperti kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Inilah tujuan mendirikan sebuah negara merdeka.

Ketika cita-cita kemakmuran gagal diwujudkan, bahkan kebebasan itu masih tercengkeram, apalah artinya negara yang berstatus merdeka. Mendasarkan landasan sosiologis ini, maka penyalahgunaan kekuasaan yang membuat hilangnya kebebasan rakyat berekspresi secara politik atau lainnya, memang kata pengkhiamat layak disematkan kepada para aktor abuse of power itu. Mereka sesungguhnya pecundang bagi kepentingan negara. Rakyat menjadi korban atas pecundangannya.

Karena itu ada dua hal krusial yang perlu dilakukan. Pertama, jika mereka tak rela disebut atau dinilai sebagai pengkhianat negara, maka akhirilah praktik atau tindakan penyalahgunaan kekuasaan itu. Perlihatkan rasa malu kepada para pejuang yang dulu berkorban dalam memerdekakan negara. Tunjukkan sikap bertanggung jawab kita kepada para pendahulu dengan cara memegang teguh amanah atas cita-cita dan mewujudkan apa yang mereka perjuangkan.

Kedua, jika mereka tetap melakukan abuse of power, maka seluruh pihak harus menyadari bahwa tindakan picik itu akan menenggelamkan cita-cita ideal bernegara. Negara hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat. Tidak semuanya. Karena itu tak ada kata lain: ketidakadilan harus dilawan.
Caranya, hilangkan rasa takut (freedom of fear) dari intimidasi apapaun. Jangan memilih pasangan yang menggunakan kekuasaan secara melawan hukum, apapun bentuknya. Lalu, tunjukkan keberanian seluruh elemen bangsa ini: galang kekuatan sosial untuk mempidanakan siapapun yang menyalahgunakan kekuasaan.

Landasan ketentuannya jelas: terundangkan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menegaskan, “Setiap ASN, TNI dan POLRI, Kepala Desa, Perangkat desa dan atau Anggota Badan Permusyawaratan Desa dan Camat yang melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 280 Ayat(3) dapat dipidana dengan kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,-

Memang, ketetuan pidana tersebut tergolong ringan. Tapi, persoalannya sangat subyektif. Para pihak yang merasa dirugikan akibat abuse of power memang harus terpanggil untuk mempidanakannya. Urgensinya tak lepas dari hak dan keinginan kuat setiap anak bangsa untuk merasakan karunia kemerdekaan sejati, secara sosial, politik, ekonomi atau lainnya seperti berfikir dan berpendapat.

Kini, melalui perhelatan pilpres, seluruh pihak yang sadar tentang arti hak-hak asasinya harus bangkit: tunjukkan keberanian itu. It`s time, not later. Jika tak menyadari, malapetakanya sungguh menistakan: perbudakan bangsa ini kian meraja-lela. Kolonialisasi bukanlah fatamorgana. Haruskah terjerumus akibat membiarkan praktik penyalahgunaan kekuasaan itu? Hanya kalangan dungu yang tak terbangkit kesadarannya. Hanya kalangan yang tak waras yang membiarkan gerakan sistematis menuju kolonialisasi negeri ini.

Penulis: Analis Politik Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.