OTT Kepala Daerah: Korupsi Ditangkap, Sistem Tetap Rusak! 

KOTA BEKASI, Harnasnews.com – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kepala daerah seolah telah menjadi rutinitas. Nama berganti, jabatan berbeda, modus nyaris serupa. Setiap kali OTT terjadi, publik disuguhi drama penegakan hukum, sementara akar persoalan tetap dibiarkan hidup subur.

Penangkapan kepala daerah memang penting. Negara harus hadir dan menunjukkan bahwa kekuasaan tidak kebal hukum. Namun, terlalu sering kita terjebak pada euforia penindakan, seolah korupsi selesai ketika seorang kepala daerah diborgol. Faktanya, yang ditangkap adalah pelaku, bukan sistem yang melahirkannya.

Dampak OTT tidak sederhana. Pemerintahan daerah limbung, kebijakan strategis tersendat, dan birokrasi masuk mode “aman”. Pejabat takut mengambil keputusan, proyek pembangunan ditunda, dan pelayanan publik ikut menjadi korban. Ironisnya, masyarakat yang sama sekali tidak terlibat justru menanggung akibat terbesarnya.

Lebih memprihatinkan lagi, OTT kepala daerah menelanjangi wajah buram demokrasi lokal. Kepala daerah yang dipilih melalui pemilu langsung—dengan biaya politik yang tidak kecil—ternyata rapuh secara integritas. Di titik ini, wajar jika publik bertanya: apakah pilkada benar-benar menghasilkan pemimpin, atau sekadar memproduksi penguasa yang sibuk mengembalikan modal?

Partai politik tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih “oknum”. Rekrutmen yang transaksional, mahar politik, dan minimnya uji integritas adalah kontribusi nyata partai dalam melanggengkan korupsi. Ketika proses politik sudah cacat sejak awal, hasilnya pun sulit diharapkan bersih.

Secara sosial, banjir kasus OTT berpotensi menormalisasi korupsi. Masyarakat menjadi lelah, sinis, dan apatis. Korupsi tak lagi mengejutkan, hanya menunggu giliran. Dalam situasi seperti ini, bahaya terbesar bukan lagi korupsi itu sendiri, melainkan hilangnya kemarahan publik.

Dari sisi ekonomi, efeknya nyata. Investasi menahan diri, proyek strategis tertunda, dan daerah kembali kehilangan momentum pembangunan. Korupsi kepala daerah bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan sabotase terhadap masa depan daerahnya sendiri.

OTT seharusnya dibaca sebagai alarm keras, bukan sekadar prestasi penindakan. Jika setelah OTT tidak ada pembenahan sistem—mulai dari pendanaan politik, pengawasan internal, hingga transparansi perizinan—maka penangkapan hanya akan menjadi siklus tahunan yang repetitif dan melelahkan.

OTT Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kepala daerah kini sudah hampir menjadi pemandangan biasa. Sepanjang 2025 saja, sejumlah kepala daerah aktif—mulai dari Bupati hingga Gubernur—ditangkap dalam kasus dugaan suap, pengaturan proyek, hingga penyalahgunaan anggaran pemerintah daerah, meski masa jabatan mereka belum genap setahun. Kejadian ini termasuk OTT terhadap Bupati Kolaka Timur, Gubernur Riau, Bupati Ponorogo, Bupati Lampung Tengah dan Bupati Kabupaten Bekasi.

Kita bisa bersorak bahwa penegak hukum bekerja. Namun yang perlu dipahami: apa artinya OTT jika setiap tahun, enam, delapan atau lebih kepala daerah harus digelandang ke KPK? Bukti empiris menunjukkan korupsi di tingkat daerah bukan kasus sesekali, melainkan fenomena struktural yang berulang. Data KPK mencatat bahwa mayoritas perkara korupsi berasal dari lingkungan pemerintah daerah—menurut laporan terakhir mencapai 51% dari total kasus yang ditangani.

*Lalu bagaimana dengan dampaknya?*

Penangkapan kepala daerah kerap mendadak dan menciptakan kekosongan kepemimpinan. Di Ponorogo, misalnya, setelah OTT terhadap bupati, pemerintah kabupaten harus mengkaji ulang rencana mutasi 138 ASN hanya untuk memastikan pencapaian pelayanan publik tetap berjalan. Situasi ini bukan hanya soal audit internal, tetapi soal stabilitas pemerintahan di mata publik.

Kekosongan kepemimpinan juga menghadirkan kecemasan baru: kebijakan publik terhenti, birokrasi membeku, dan proyek strategis yang sedang berjalan bisa mengalami penundaan signifikan. Ketika seorang kepala daerah ditetapkan tersangka, wakilnya atau pejabat sementara otomatis mengambil alih, tapi legitimasi politik mereka kerap dipertanyakan. Ini menciptakan ketidakpastian dalam kelanjutan pembangunan dan perencanaan daerah.

Fenomena ini juga menyoroti ironi serius: kepala daerah yang baru dilantik setelah proses demokrasi panjang—dengan biaya politik mahal dan janji perubahan—justru terseret kasus korupsi. Dalam banyak kasus OTT sebelumnya, modus yang terungkap berkaitan dengan fee proyek infrastruktur maupun gratifikasi dari kontraktor, yang tidak hanya merugikan keuangan daerah tetapi merusak kepercayaan publik.

Publik yang sering menyaksikan skenario serupa akan lama-kelamaan menjadi apatis. Ketika pemimpin yang dipilih rakyat justru disebut koruptor, masyarakat mudah sekali kehilangan harapan terhadap proses demokrasi lokal. Rasa sinisme ini kemudian mematikan partisipasi publik dalam kehidupan politik dan pengawasan pemerintahan. Kepercayaan, sekali runtuh, butuh waktu lama untuk diperbaiki.

OTT memang memberikan efek jera—namun efek itu hanya seperti tamparan sesaat. Jika akar persoalan tidak dibongkar, maka operasi semacam ini hanya seperti membersihkan lumut sementara akar pohon pembusuk tetap tertanam kuat. Korupsi kepala daerah bukan sekadar soal tindakan kriminal individu, tetapi cerminan mahalnya biaya politik, lemahnya mekanisme pengawasan internal, serta budaya patronase yang masih hidup di banyak daerah.

Negara harus bertanya kepada diri sendiri: apakah kita puas hanya melihat kepala daerah berguguran satu per satu? Atau berani menata ulang sistem politik lokal agar integritas bukan sekadar jargon?

OTT seharusnya menjadi panggilan untuk pembenahan total, bukan sekadar headline berita. Jika tidak, korupsi kepala daerah akan terus berulang, dan rakyat akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan.

Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah OTT efektif atau tidak. Pertanyaan yang lebih jujur adalah: beranikah negara menyentuh sumber persoalan, atau akan terus puas menangkap koruptor sambil membiarkan sistem yang korup tetap berdiri?

Penulis: Moch Alvi Yasin, S.Sos, Senior Wartawan Kota Bekasi.

Leave A Reply

Your email address will not be published.