Pilpres dan Warna-warni Kaum Nahdlyyin

Oleh: Agus Wahid

Diperebutkan dengan beragam cara. Itulah topografi sosial basis massa Nahdliyyin. Kian agresif perebutan itu saat kian dekat kontestasi politik pemilihan presiden (Pilpres). Sejuah catatan politik sejak diberlakukan pilpres secara langsung. Dapat dimaklumi. Basis massa Nahdliyyin menjadi faktor pertimbangan penting. Secara kalkulatif, pendulangan suara basis Nahdliyyin berpotensi besar untuk mengantarkan kandidat sebagai pemenang.

Yang perlu kita arsir, apakah basis massa Nahdliyyin yang cukup besar itu selalu solid atau utuh secara kuantitatif? Tidak. Fakta sosiologis menunjukkan, pada pilpres 2004, pasangan Megawati – Hasyim Muzadi (HM) kalah. Padahal alm. Hasyim Muzadi saat itu Ketua PBNU. Faktornya, di satu sisi basis NU terpecah: ada yang tetap setiap dengan NU dan pilih pasangan PDIP-NU. Di sisi lain, pilih pasaangan Wiranto-Sholahudin Wahid (wadik Gusdur).

Dalam hal ini, sebagian basis massa NU lebih melihat adik kandung Gus Dur. Trah Hasyim Asy`ari di mata Nahdliyyin tetap dinilai lebih unggul dibanding HM, meski tak diragukan sebagai tokoh NU. Keterbalahan basis massa Nahdliyyin secara politik menentukan hasil akhir yang tak diharapkan: kalah.

Panorama keterbelahan basis massa Nahdliyyin dalam perjalanan politik nasional menjadi warna khas. Saat kontestasi pilpres 2014 dan 2019, basis massa Nahdliyyin tergolong solid. Fungsionaris NU di bawah Said Agil Siraj dan PKB di bawah kendali penuh Muhaimin Iskandar menyatu sikap dan pandangan politiknya: pro Jokowi, meski untuk periode kedua Ma`ruf Amin sebagai unsur NU yang ditampilkan sebagai wapres. Apakah soliditas Nahdliyyin bisa dijadikan barometer untuk pilpes 2024? No. Meski dalam pilpres 2024 ini kader PKB sekaligus NU ini maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) Anies, namum topografi keterbelahan Nahdliyyin tak bisa dipandang sebelah mata.

Di lapangan, kita saksikan, diametralitas fungsionaris NU versus PKB. Terlepas adanya anasir rivalitas berlandaskan kepentingan politik, NU di bawah komando Yahya Staquf menegaskan sikap politiknya: jangan bawa nama NU dalam panggung politik praktis. Arahnya dapat dibaca lebih jauh. Yaitu, menghimbau bahkan menyuruh agar keluarga besar Nahdliyyin tidak harus memilih pasangan Anies-Muhaimin (AMIN). Sebuah himbauan atau suruhan yang praktis membuyarkan ekspektasi Koalisi Perubahan dan Persatuan. Sebab, landasan kalklasi politiknya jelas, menggandeng Cak Imin untuk mendulang suara Nahdliyyin di Jawa Timur khususnya, dan Jawa Tengah bahkan daerah-daerah lainnya pada umumnya yang punya basis massa Nahdliyyin.

Mengapa ekspektasi itu terbuyarkan? Kita tak bisa memandang sebelah mata. Sikap politik PBNU punya resonansi cukup kuat. Di level struktural, terdapat sejumlah mantan politisi yang duduk sebagai fungsionaris, yang punya pengaruh kuat di Jawa Timur khususnya dan ia berseberangan dengan Cak Imin. Dalam kaitan keberseberangan itu pula, faktor Yenny Wahid juga tak bisa dipandang sebalah mata. Sebagai puteri Gus Dur yang dikecewakan Cak Imin, dia berpotensi besar mengerahkan pengaruhnya untuk tidak memilih Cak Imin. Itu berarti tidak memilih pasangannya: Anies, meski Yenny sendiri respek dan kagum terhadap kapabilitas Anies.

Dan satu lagi elemen Nahdliyyin yang super pragmatis sikap politiknya. Elemen ini tidak terlalu terikat dengan fungsonaris PBNU. Juga, tak peduli dengan trah Gus Dur. Kelompok ini justru sangat suka mengkapitalisasi basis massa Nahdliyyin yang sendiko dawuh terhadap para kyainya. Dalam kaitan inilah para “kyai” eksploitator ini mengedepan irama politik “monggo, selamat datang, welcome, marhaban” kepada kandidat manapun. Yang terpenting siap memenuhi politik “wani piro”. Sikap dan tindakan politik transaksional inilah yang kita saksikan pada panorama sejumlah pesantren di bawah asuhan sang kyai atau ajengan yang menunjukkan dukungan kepada capres-capres yang sudah jelas reputasi minusnya.

Tak mampukah mencermati reputasi minus itu? Pasti mampu. Tapi, mengapa harus memberlakukan politik wani piro? Inilah problem kultural yang mandarah daging puluhan tahun silam. Bagi mereka, peringatan Allah melalui hadits qudsinya dipandang sepi. “Allah melaknat penyogok dan penerima sogok” tidak dipandang sebagai ancaman serius. Persoalannya bukan sebatas penerimaan sogokan (risywah), tapi implikasi politiknya. Basis massa Nahdliyyin yang sendiko dawuh ini secara kultural cenderung mengikuti sikap politik sang kyai penerima risywah itu.

Inilah malapetakanya. Kuam Nahdliyyin yang bertipe sendiko dawuh ini akan memberi andil terhadap kondisi nasional yang sudah di ambang kehancuran ini. Haruskah dipersalahkan andil kaum Nahdliyyin tipe sendiko dawuh ini? Tidak bijak menyalahkannya. Namun, tidak bijak juga membenarkan sikap dan tindakan para pengasuh pesantren yang – dalam perspektif agama lebih dikenal dengan ulama su` suka mengkapitalisasi kesendiko-dawuhan kaum Nahdliyyin itu.

Sebagai ilustrasi komparatif, basis massa manapun yang tak punya sikap dan pendirian bagai buih. Ke mana angin kencang menghembus, gumpalan buih akan bergerak sesuai hembusan kuat itu. Jika hembusannya ke arah kebenaran dan keselamatan, akan terjadi perbaikan. Jika sebaliknya, maka kehancuran yang bakal terjadi. Dalam hal ini penghembus menjadi faktor determinan penghancuran.

Karenanya, jika sang kyai penerima risywah tetap menghimbau bahkan menunjukkan dukungan politiknya kepada kandidat yang jelas-jelas tidak capable dan bermasalah secara integritas apalagi moralitas, sesungguhnya dia telah berandil besar dalam menciptakan kehancuran bangsa dan negeri ini. Inilah implikasi risywah bagi segolongan kyai atau ulama pragmatis, yang hubb ad-dunya, yang tak lagi takut dengan ancaman laknat Allah. Juga, tak peduli dengan nasib suatu kaum (bangsa) yang mengalami destruksi total. Ia atau mereka lebih enjoy menjadi sekutu calon pemimpin perusak di muka bumi yang memang menjadi pion oligarki.

Itulah faksi yang ada di sejumlah elitis Nahdliyyin yang mengundang tanya bagaimana prospectus Cak Imin sebagai faktor pendulang suara pada basis massa Nahdliyyin, baik di Jawa Timur ataupun daerah-daerah lainnya. Namun demikian, kita tak boleh menutup mata, masih cukup banyak juga para elitis Nahdliyyin yang masih sehat cara berpikir dan sikap politiknya yang penuh nurani. Barisan ulama husn akan menjadi garda terdepan dalam menghadang gerakan ulama su` yang sangat pragmatis itu. Meski potensi pendulangan tidak bisa diharapkan penuh seperti masa pilpres 2019, namun angka 50% masih bisa dijaga.

Hadirnya sosok ulama seperti KH. Abdurahman al-Kautsar yang didaulat sebagai Ketua Nasional Barisan Pemenangan NU akan menumbuhkan kesadaran sinergisitas antar internal Nahdliyyin, baik di lapisan elitis ataupun grassroot. Sisi lain, pengaruh besar Pesantren Serang (Jawa Timur) meski KH. Maimun Zubeir telah tiada masih bisa diharapkan untuk menepis pengaruh keluarga Yahya Staquf yang kemungkinan dapat back up sosio-politik KH. Mustofa Bisri selaku pamannya.

Sekedar catatan, pengaruh Pesantren Serang di Jawa Timur khususnya masih sangat powerful. Dan pengasuh Pesantren Serang, wabil khusush, ust. Najih bin Maimun Zubeir dan Gus Yasin (Wakil Gubernur Jawa Tengah yang mengundurkan diri), juga putera Maimun Zubeir di satu sisi memang sudah respek terhadap Anies. Di sisi lain, jatidirinya sebagai Nahdliyyin. Kedua elit Nahdliyyin ini juga akan menjadi acuan atau kiblat kaum Nahdliyyin di Jawa Timur, bahkan Jawa Tengah dan daerah-daerah lainnya.

Akhir kata, basis massa Nahdliyyin memang terbelah karena faksi dan friksi yang ada di sejumlah elitis Nahdliyyin. Tapi, inilah uji daya magnet Cak Imin untuk membuktikan pengaruhnya, terutama pada basis massa Nahdliyyin itu. Bagi Cak Imin, saat ini adalah pertarungan harga diri sekaligus mempertahankan sikap demi ambisinya.

Kita tahu, sejak pilpres 2014, Cak Imin mengincar posisi capres, minimal cawapres. Dan baru kali ini (pilpres 2024), keinginan politiknya terpenuh, meski kini masih berstatus sebagai cawapres. Atas nama pemenuhan ambisi politiknya, Cak Imin juga ditantang untuk membuktikan dirinya tak akan luntur oleh rayuan tendensius dari kalangan oligarki.

Triliunan rupiah yang mungkin saja diiming-imingi oligarki haruslah dihempaskan karena kesempatan menjadi cawapres tak akan datang dua kali. Now or never itulah posisi politik yang harus disadari Cak Imin dalam mempersandingkan diri sebagai cawapres. Dan keistiqamahan Cak Imim harus dilihat sebagai tekad memperbaiki nasib bangsa dan negara yang kini sudah morat-marit.

Penulis: Analis dari Center for Public Policy Studies – INDONESIA

Leave A Reply

Your email address will not be published.