Satgas PPA Desak Penertiban Sawit Ilegal di Aceh Utara: Ujian Hukum, Investasi, dan Ekologi di Tanah Cot Girek

ACEH UTARA, Harnasnews — Persoalan tumpang tindih lahan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Aceh Utara kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, desakan datang dari Satuan Tugas Percepatan Pembangunan Aceh (Satgas PPA) yang meminta Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) segera mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah perusahaan sawit yang diduga beroperasi tanpa izin di kawasan hutan negara.

Salah satu entitas yang disorot adalah PT Perkebunan V Cot Girek, perusahaan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SK.1156/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2023. Dalam keputusan tersebut, perusahaan ini masuk dalam daftar pelaku usaha yang beroperasi tanpa izin kehutanan dengan luas indikatif areal terbuka mencapai ±15.594 hektare di wilayah administratif Aceh Utara.

Koordinator Satgas PPA, Tri Nugroho Panggabean, menegaskan bahwa penertiban perusahaan sawit ilegal bukan sekadar penegakan regulasi, tetapi juga ujian terhadap komitmen negara dalam melindungi sumber daya alam dan mencegah degradasi lingkungan.

“Perusahaan yang beroperasi tanpa dasar hukum di kawasan hutan harus segera ditindak sesuai aturan. Penegakan hukum menjadi kunci pemulihan kepercayaan publik dan menjaga keberlanjutan lingkungan,” ujar Tri Nugroho, Senin (20/10/2025).

Tri menilai bahwa lemahnya pengawasan pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah membuka celah bagi korporasi untuk memperluas operasi tanpa mengantongi izin pelepasan kawasan hutan. Padahal, UU tersebut secara tegas melalui Pasal 110A dan 110B telah mengatur mekanisme penertiban kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa izin — baik melalui sanksi administratif maupun pemulihan fungsi kawasan.

Desakan Satgas PPA muncul di tengah meningkatnya tensi sosial di Kecamatan Cot Girek, tempat PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) tengah mengajukan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 7.500 hektare. Proses hukum tersebut memicu resistensi dari masyarakat yang menilai HGU lama telah menimbulkan dampak sosial-ekonomi, termasuk penggusuran lahan garapan masyarakat adat dan petani lokal.

Aksi blokade jalan serta protes masyarakat beberapa bulan terakhir mencerminkan ketidakpastian penyelesaian konflik agraria. Ketegangan ini memperlihatkan kerapuhan tata kelola investasi perkebunan di Aceh Utara yang masih minim transparansi.

“Jika tidak ada langkah hukum dan kebijakan yang tegas, konflik ini dapat berkembang menjadi krisis sosial yang sulit dikendalikan,” ujar Tri Nugroho.

Langkah penertiban terhadap perusahaan sawit ilegal sejatinya memiliki landasan hukum yang kuat.
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan, pemerintah telah mengatur bahwa setiap pelaku usaha yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin dapat dikenai sanksi berupa:

Kewajiban pemulihan kawasan,

Denda administratif, serta

Penghentian kegiatan sementara atau permanen.

Selain itu, pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 mempertegas mandat negara untuk menertibkan kegiatan perkebunan dan pertambangan yang telah terbangun di kawasan hutan tanpa izin.

Kebijakan tersebut merupakan implementasi lanjutan dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang secara struktural bertujuan menyeimbangkan kepastian hukum investasi dengan tanggung jawab lingkungan. Namun dalam praktiknya, di sejumlah daerah termasuk Aceh Utara, implementasi kebijakan ini masih minim progres dan lemah dalam penegakan sanksi administratif.

Selain PT Perkebunan V Cot Girek, sejumlah perusahaan lain di Aceh juga disebut dalam SK Menteri LHK yang sama, antara lain:

1. PT Persati (±6.789 ha)
2. PT Potensi Bumi Sakti (±6.744 ha)
3. Beberapa perusahaan perkebunan lainnya yang masih dalam tahap verifikasi lapangan.

Data tersebut kini menjadi acuan kerja Satgas PKH untuk proses validasi dan penertiban berdasarkan mandat Perpres 5/2025 dan PP 24/2021.

Lahan Cot Girek memiliki nilai strategis dalam sejarah industri perkebunan nasional. Wilayah ini dulunya merupakan bagian dari badan usaha milik negara (BUMN) yang kemudian dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I), hasil penggabungan dari PTP I, PTP V, dan PT Cot Girek Baru.
Penggabungan tersebut membuka ruang investasi baru, tetapi juga menyisakan persoalan serius: tumpang tindih izin lahan, pelanggaran batas kawasan hutan, dan lemahnya pelibatan masyarakat lokal.

Secara ekonomi, ekspansi perkebunan sawit memang menyumbang investasi dan lapangan kerja. Namun secara ekologis, deforestasi dan degradasi lahan gambut telah menimbulkan kerugian ekologis yang tidak kecil. Berdasarkan data KLHK, Aceh kehilangan lebih dari 120.000 hektare tutupan hutan dalam satu dekade terakhir, sebagian besar akibat konversi lahan untuk perkebunan sawit dan tambang.

Tri Nugroho menegaskan bahwa penyelesaian konflik Cot Girek tidak bisa berhenti pada penegakan hukum administratif semata. Pemerintah harus mengintegrasikan aspek keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam setiap langkah penertiban.

“Penegakan hukum bukan hanya tentang sanksi, tapi tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan hak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang berkelanjutan,” pungkasnya.

Satgas PPA juga mendorong agar investasi hijau dan sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) menjadi syarat wajib bagi perusahaan di Aceh Utara, sejalan dengan target pembangunan berkelanjutan (SDGs) dan agenda nasional dekarbonisasi sektor perkebunan.

Kasus Cot Girek menjadi potret kontradiksi antara investasi dan konservasi di Aceh Utara. Ketika sektor sawit terus tumbuh, regulasi kehutanan dan penegakan hukum justru tertatih.
Satgas PPA menilai bahwa penertiban perusahaan ilegal bukan hanya tentang menyelamatkan hutan, tetapi juga tentang menegakkan kedaulatan hukum dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Jika tidak segera ditangani, Cot Girek bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola investasi di Aceh, sekaligus menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa kepastian hukum hanyalah ilusi pembangunan. (Zulmalik)

Leave A Reply

Your email address will not be published.