
TPA Sumur Batu (1): Tak Ada Tembok Pemisah, Warga Berjuang Melawan Dampak Sampah

Dari bangku teras rumahnya, pemandangan mencekam terpampang nyata—bukit sampah menggunung bukan lagi di kejauhan, tetapi tepat di halaman depan. “Parah. Lalat banyak, bau sampahnya menyengat, dan air lindinya sampai ke teras rumah kami,” keluh Musa dengan wajah lelah.
Tim FJPL menyaksikan langsung kondisi mengenaskan ini. TPA dan permukiman warga kini praktis tanpa pemisah, membuat sampah dan segala dampaknya langsung menyerang kehidupan sehari-hari penduduk.
Lalat-lalat beterbangan di mana-mana, tak kenal ampun. Mereka hinggap di daun-daun tanaman yang masih ditanam Musa di pekarangannya. Jangankan makanan atau minuman yang disajikan, daun-daun pun menjadi santapan gerombolan lalat yang tak pernah berhenti berdatangan.
Di seberang rumah Musa, berjejer gubuk-gubuk pemulung. Para penghuninya bekerja sepanjang hari memilah sampah yang dibuang secara ilegal ke zona 3 dan 4 TPA. “Ilegal” di sini bukan berarti truk-truk sampah tidak membayar, melainkan pembayarannya tidak masuk ke dalam retribusi resmi Pemerintah Kota Bekasi. Diduga kuat menjadi permainan dan “bancakan” oknum di lingkaran UPTD TPA Sumur Batu.
Informasi lengkap praktik ilegal ini akan FJPL ungkap dalam liputan berikutnya. Musa sendiri mengaku tak begitu paham dan tak mau usil soal itu. Yang dia tahu, praktik buangan melalui pintu ilegal di sekitar lingkungannya sudah berjalan cukup lama, sekitar lima tahunan.
Musa mengajak FJPL menyeberang dari rumahnya menuju deretan gubuk pemulung yang berada di bawah gunung sampah. Di sana, terlihat seorang ibu dan anak kecil dari keluarga pemulung sedang bercanda ria di depan pintu gubuk mereka. Beberapa pemulung lain masih berjibaku memilah sampah meskipun waktu adzan maghrib hampir tiba.
Di bawah gunung sampah, terdapat cekungan yang memuat air lindi—cairan keruh dan hitam. Tak salah apa yang dikatakan Musa. Jika hujan lebat, air ini pasti meluap dan mengalir ke rumah warga.
Bau busuk menyeruak, menusuk hingga ke ulu hati, membuat perut terasa mual dan kepala pening. Namun bagi Musa dan warga setempat, bau ini telah menjadi teman sehari-hari—semacam parfum lingkungan yang dipaksa mereka hirup setiap waktu.
“Kami udah biasa, mau gimana lagi?” ujarnya pasrah.
Di sini terlihat tumpukan berbagai jenis sampah yang tercampur. Bahkan, FJPL masih menemukan selang infus dan popok dewasa yang berserakan. Temuan ini tidak mengejutkan. Sebab, area tersebut berjarak dekat dengan lokasi pembuangan limbah medis yang sebelumnya ditemukan FJPL bersama Haji Anton, Anggota Komisi II DPRD Kota Bekasi, pada Minggu (20/4/2025) lalu.
Yang lebih memprihatinkan lagi, Musa menceritakan bahwa tembok pembatas yang seharusnya melindungi permukiman mereka telah roboh sejak lebih dari setahun lalu. “Tembok itu udah ambruk hampir setahun lebih, tapi gak pernah diperbaiki,” katanya. Tak heran, mungkin karena lamanya roboh, tidak ada sisa-sisa material tembok yang entah hilang kemana.
Musa menunjukkan foto di ponselnya yang diambil tahun 2018. “Ini foto yang saya masih simpan,” katanya sambil memperlihatkan gambar lama di mana pagar pembatas masih berdiri kokoh dan gunung sampah ditutup dengan karpet—pemandangan yang jauh berbeda dari kondisi saat ini.
Menurut Musa, kejadian ambruknya tembok berawal ketika sebuah truk sampah tergelincir dan menimpa bagian tembok, dan menghancurkannya. Lama-kelamaan, kerusakan merambat hingga seluruh tembok hilang tanpa tersisa.
Akibat hilangnya tembok pembatas sungguh parah. Jalan warga yang dulunya ramai digunakan untuk kegiatan sehari-hari kini menyempit, hancur, dipenuhi sampah, dan tergenang air lindi. Bahkan saluran air yang baru saja diperbaiki ikut rusak, beralih fungsi menjadi “jalan tikus” bagi truk sampah menuju pintu tidak resmi TPA.
“Jalan yang tadinya untuk lalu lalang warga, sekarang sudah hilang, sudah terpakai jadi akses pembuangan sampah,” keluh Musa dengan nada sedih.
Dia dan ketua RT setempat bukannya berdiam diri menghadapi situasi ini. Mereka telah berusaha mencari jalan keluar melalui cara yang benar, menyampaikan keluhan kepada petugas setempat hingga pihak kelurahan. Namun, jawaban yang diharapkan tak kunjung datang.
“Suara kami gak didengar,” kata Musa, suaranya menyiratkan keputusasaan yang telah lama terpendam.
FJPL berupaya mendapatkan penjelasan lebih lengkap tentang jalan yang terbengkalai tersebut dengan menghubungi pihak Kelurahan Sumur Batu.
Namun sayangnya, respons yang didapat ketika menghubungi via WhatsApp pada Senin (28/4/2025) kurang memuaskan. Salah satu staf kelurahan hanya menjawab singkat, “Bu Lurahnya lagi ada tugas di Bandung, dan untuk giat sampah itu ada di UPTD LH,” tanpa menjelaskan lebih lanjut pihak yang dimaksud dari UPTD LH tersebut.
TPA Sumur Batu Harusnya Disegel
Carsa Hamdani, Ketua Umum Prabu Peduli Lingkungan (Prabu PL), tak segan mengacungkan jempol untuk keberanian Musa yang telah memecah kebisuan soal bencana lingkungan di TPA Sumur Batu. Tanpa ragu dia memberikan dukungan kepada Musa yang mengungkap kisah kelam warga yang hidup berdampingan dengan gunung sampah.
“Setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat 1,” tegas Carsa saat ditemui pada Selasa (29/4/2025).
Dengan sorot mata tajam, dia memaparkan bagaimana pengelolaan TPA Sumur Batu telah nyata-nyata melanggar UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pelanggaran ini menjadi lebih serius karena secara langsung melanggar Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 02 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah.
“Ada sanksi pidana di sana dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi beserta jajarannya termasuk UPTD TPA Sumur Batu harus bertanggung jawab,” tandas Carsa sambil mengetuk-ngetuk salinan peraturan yang dipegangnya.
Tak berhenti pada kritik, dia juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk segera mengambil langkah tegas dengan menyegel TPA Sumur Batu, seperti yang telah diterapkan pada TPA Burangkeng. “Mestinya disegel barbarengan dengan TPA Burangkeng,” pungkas Carsa dengan nada menuntut. (Supri)