TSM dan PSU: Makna dan Langkah Hukum

Badan pengawas pemilihan umum itu akan  menerima, memeriksa, dan memutus keberatan terhadap putusan atas laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM yang ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi. Keputusan ini berisi tentang menyatakan terlapor tidak terbukti melakukan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM.

Lalu bagaimana dengan pemungutan suara ulang atau disingkat PSU. Pemungutan suara ulang adalah proses mengulang kembali pemungutan suara di tingkat TPS. Pemungutan Suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu) atau lebih keadaan sebagai berikut:

Pembukaan kotak Pemungutan dan suara dan/atau Penghitungan Suara berkas tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; Petugas KPPS meminta Pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada Surat Suara yang sudah digunakan; Petugas KPPS merusak lebih dari 1 (satu) Surat Suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga Surat Suara tersebut menjadi tidak sah; Lebih dari 1 (satu) orang Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari 1 (satu) kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau lebih dari 1 (satu) orang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.

Atas kejadian itu Panwas kecamatan dan Bawaslu kabupaten merekomendasikan kepada KPU kabupaten untuk diselenggarakan PSU paling lama 10 hari sejak pasca pemungutan suara di tingkat TPS. Dalam konteks pilkada sumbawa, maka rekomendasi PSU sebagai karpet merah yang dikeluarkan oleh Bawaslu sudah hangus.

Merebaknya berbagai isu bahwa mahkamah konstitusi dapat mengeluarkan keputusan PSU. Pertanyaan ini perlu di kaji kewenangan lembaga yang mengeluarkan keputusan bersifat final itu.

Di dalam UUD 1945, pasal 24C ayat 1 yang menyatakan, mahamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dari keempat kewenangan itu, tentu kewenangan terakhir yang memiliki kaitan dengan PSU, yakni Perselisihan hasil pemilu.

Perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Dalam frame pilkada tentu perselisihan hasil perolehan suara yang terjadi di pemilihan kepala daerah. Di dalam UU nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2014 tentang pilkada, Pasal 157 yang menyatakan Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.

Kemudian Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi. Ini membuktikan bahwa MK memiliki domain dalam menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara oleh KPU, baik KPU kabupaten maupun KPU provinsi, sehingga penyelenggara pemilu tersebut akan menjadi pihak yang akan digugat oleh peserta pemilu di MK.

Sehingga yang menjadi perdebatan dan kajian di lembaga hukum tersebut menyangkut dengan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, rekapitulasi tingkat PPK, maupun KPU Kabupaten paling lama 45 hari. Sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh MK tentu jauh dari unsur pidana karena sengketa yang diajukan kepada MK bukan sengketa pelanggaran yang bersifat TSM akan tetapi penetapan perolehan hasil oleh KPU sehingga keputusan yang akan dikeluarkan bermuara kepada pemungutan suara ulang (PSU) yang memiliki kekuatan  final dan mengikat.

Penulis: Dosen Fakultas Hukum, UNSA

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.