JAKARTA, Harnasnews – Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Prof. Didik J Rachbini, MSc. PhD, mengkritisi soal tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Prof Didik menilai, tingginya biaya UKT karena adanya alokasi anggaran pendidikan tinggi di Kemendikbud (UI, UGM, ITB, UNDIP, UB, dll) hanya kebagian 1,1 persen (7 triliun rupiah) dari total anggaran 20 persen yang harus dialokasikan kepada sektor pendidikan secara keseluruhan.
Semantara, Perguruan Tinggi Negeri dipaksa untuk mencari anggaran sendiri dengan cara mengeruk uang dari mahasiswa sehingga pendidikan tinggi tidak lebih dari pasar, “ada uang ada barang.”
Pada akhirnya perguruan tinggi negeri melupakan kualitas dan tugas untuk membangun daya saing bangsa, mandek untuk mencari inovasi teknologi untuk kemajuan, dan tertinggal dalam riset mendalam.
“Sehingga mereka kemudian menumpuk mahasiswa melakukan pola pengejaran ala kursus-kursus yang lazim ada di banyak kota di Indonesia. Karena itu, setidaknya 10-20 universitas utama di Indonesia hanya menjadi universitas kelas underdog di Asia, apalagi di dunia. Tidak usah dibandingkan dengan NUS di Singapura (ranking 8 dunia), dengan Malaysia (UKM) saja ketinggalan jauh,” kata Prof. Didik J Rachbini dalam keterangan tertulisnya yang diterima Harnasnews, Sabtu (22/6/2024).
Oleh karena itu, kata Prof Didik, dosen dan mahasiswa Indonesia harus mengetahui bahwa alokasi untuk pendidikan tinggi saat ini kurang tidak mendapat perhatian yang memadai.
“Atau bahkan bisa dikatakan tidak sama sekali diperhatikan dengan baik dan wajar sebagaimana amanat konstitusi, warga negara berhak mendapat pendidikan yang baik (pasal 31 UUD 1945),” ucap Prof Didik.
Yang lebih miris kata Prof Didik, kondisi perguruan tinggi swasta , bukan hanya tidak diperhatikan, tetapi justru dibedakan statusnya. Bahkan dianaktirikan dan ada perlakukan semacam “rasisme pendidikan tinggi”.
“Jadi ribuan perguruan tinggi yang didirikan oleh inisiatif masyarakat, tanpa dukungan dana negara, tidak mendapat kucuran anggaran pendidikan tersebut kecuali secuil anggaran pengabdian masyarakat atau penelitian, yang tidak pasti, kadang ada dan kadang tidak,” tandas Prof Didik.
Sementara kementrian lain atau lembaga lain di luar kementrian pendidikan, kata dia, menghabiskan anggaran tersebut empat kali atau 400 persen lebih banyak dari perguruan tinggi negeri di bawah kemendikbud. Jumlahnya sangat besar yakni 32 triliun rupiah. Kondisi itu dinilai bentuk politik pendidikan tinggi yang anomali dan menyimpang.
“Bahkan setiap mahasiswa di kementrian seperti ini ada mark up gila-gilaan karena ratio biaya APBN per mahasiswa di kementrian-kementrian ini jauh lebih tinggi daripada perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud, yang diperkirakan dan ada indikasi mencapai 60 juta per mahasiswa,” katanya.
Di sisi lain, perguruan tinggi negeri lain di bawah kemendikbud hanya 10 juta atau 15 juta per mahasiswa. Oleh karena itu Prof Didik menilainya bahwa hal itu jelas merupakan praktek mark up anggaran yang tidak wajar.
Seperti, perguruan tinggi negeri di bawah kemendikbud mengerahkan tenaga mencari uang dari mahasiswa sehingga uang kuliah mahal.
Sementara itu, perguruan tinggi negeri di bawah kementrian lain tinggal terima dana APBN dan foya-foya dengan mark up dari dana APBN tersebut.
“Saya mengusulkan perguruan tinggi di luar kemendikbud pada jurusan umum lebih baik dibubarkan saja atau bergabung dengan kementrian pendidikan. Keahlian seperti akuntansi, ilmu Politik pemerintahan, ilmu sosial, kebijakan publik, dan sejenisnya sudah tidak langka lagi dan bisa dihasilkan oleh perguruan tinggi pada umumnya,” tegasnya.
“Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi keistimewaan anggaran yang belebihan. Kementrian tersebut fokus pada tugas pokoknya, yang kebanyakan juga bermasalah,” sambung Prof Didik.
Dia pun mengaku miris dengan terkait dengan alokasi anggaran pendidikan tinggi dan pendidikan secara keseluruhan, yang salah sasarn.
Seharusnya, alokasi anggaran yang diamanatkan konstitusi jelas, yakni 20 persen untuk pendidikan. Dari 20 persen dana pendidikan atau 665 triliun tersebut, lebih dari separuh tersebar ke daerah dan desa dengan alokasi untuk opendidikan dan pengeluaran yang tidak jelas dan tidak terkait dengan pendidikan.
Bahkan, kata Prof Didik, selain dana pendidikan tersebut tersebar acak tidak jelas dan banyak penggunaannya untuk bukan tujuan pendidikan, ada dana yang tidak digunakan dan disimpan, yakni sebesar 47,3 triliun rupiah. “Kalau tidak digunakan berarti tidak ada manfaat sama sekali atau manfaat nol untuk pendidikan,” tegasnya,” ungkapnya.
Padahal berdasarkan amanat pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Untuk mendapat pendidikan tersebut, maka amanat konstitusi tegas, yakni memandatkan pemerintah sekurang-kurangnya 20 persen dialokasikan untuk pendidikan.
Tetapi fakta di lapangan seperti uang kuliah mahal, protes mahasiswa Indonesia, perguruan tinggi negeri tidak mendapat alokasi yang memadai, ada indikasi mark up biaya pendidikan tinggi di luar kemendikbud, dan banyak masalah alokasi 20 persen ini menandakan adanya penyimpangan politik pendidikan.
Menurut dia, hal itu sebagai bentuk pelanggaran, jika dikaitkan dengan konstitusi bisa manjadi titik lemah di politik nasional karena bisa dipakai sebagai pintu masuk pemakzulan di kala pemerintah lemah. Selain itu masalah ini bisa ditarik sebagai pelanggaran atas konstitusi, yakni pasal 31 UUD 1945.
“Untuk itu, kami berharap kepada pemerintah baru sebaiknya memikirkan carut marut politik pendidikan seperti sekarang ini, khususnya politik pendidikan tinggi sehingga perguruan tinggi negeri. Arah. Alokasi dana yang menyimpang mesti diperbaiki,” harapnya.