Utang dan Daulat Negara Kita

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) &
Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

Utang lagi, utang lagi dan utang lagi. Tidak ada tindakan yang lebih tragis dalam pengelolaan APBN kita setiap tahun kecuali utang. Begitu lemahkah ekonomi kita dan satu-satunya jalan agar pembangunan kita berjalan? Mari kita bahas pelan-pelan agar wawasan kita bisa lebih jernih melihat persoalan.

Dalam konteks ekonomi nasional yang terus bergulat dengan tekanan global dan fluktuasi pasar keuangan internasional, kebijakan pengelolaan utang negara menjadi isu strategis yang tidak bisa lagi ditangani secara administratif semata.

Atas persoalan itu, pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial ditegaskan bahwa utang bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan simbol kedaulatan ekonomi. Negara harus memastikan setiap rupiah yang dipinjam, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, diarahkan untuk memperkuat kapasitas produktif warga negara, bukan menambah ketergantungan pada sistem keuangan global yang cenderung hegemonik.

Kebijakan pengelolaan utang negara dalam rancangan ini menolak paradigma lama yang menganggap pinjaman luar negeri sebagai keniscayaan pembangunan. Negara diberi mandat untuk menetapkan garis batas yang tegas antara utang yang produktif dan utang yang bersifat konsumtif atau spekulatif. Dalam kerangka ini, pembentukan badan khusus untuk koordinasi penyelesaian dan restrukturisasi utang menjadi kunci utama.

Badan tersebut tentu saja, tidak hanya mengelola data pinjaman dan pembayaran, tetapi juga menilai dampak sosial ekonomi dari setiap skema pembiayaan. Prinsipnya sederhana, utang hanya layak jika mampu memperkuat daya tahan fiskal dan meningkatkan kesejahteraan nasional secara terukur.

Prinsip kedaulatan fiskal juga menuntut adanya transparansi mutlak. Setiap kebijakan pinjaman negara wajib disertai analisis risiko dan manfaat yang dipublikasikan secara terbuka kepada publik melalui mekanisme yang dapat diawasi oleh lembaga perwakilan.

Transparansi bukan formalitas administratif, melainkan instrumen kontrol sosial untuk mencegah moral hazard di tingkat birokrasi maupun korporasi negara. Negara yang berdaulat secara fiskal adalah negara yang tidak menutupi utangnya, tetapi mampu menjelaskan rasionalitas ekonomi dan sosial dari setiap keputusan fiskal yang diambil secara jujur dan terukur.

Selain transparansi, rancangan undang-undang ini menekankan pentingnya mekanisme siaga fiskal sebagai sistem kewaspadaan dini untuk mengantisipasi lonjakan beban utang akibat krisis global atau perubahan suku bunga internasional. Sistem ini bekerja dengan pendekatan proaktif, memastikan bahwa sebelum rasio utang menembus ambang kritis, negara sudah memiliki opsi mitigasi seperti renegosiasi, restrukturisasi, atau pengalihan pembiayaan ke sektor-sektor yang lebih berdaya guna. Dalam pendekatan ini, negara tidak bersikap reaktif terhadap krisis, melainkan siap dengan protokol kebijakan yang melindungi ekonomi domestik dari gejolak eksternal. Kita bisa menyebutnya sebagai protokol krisis nusantara.

Mekanisme siaga fiskal juga diperkuat dengan pembentukan satuan tugas nasional yang berfungsi mengintegrasikan seluruh data utang pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara dalam satu sistem keuangan publik yang transparan. Langkah ini dirancang agar setiap kebijakan utang, baik dalam negeri maupun luar negeri, tercatat dan terukur dampaknya terhadap keberlanjutan fiskal.

Negara juga memiliki kewenangan untuk menata ulang prioritas pembayaran dan melakukan restrukturisasi terhadap proyek atau pembiayaan yang dianggap tidak produktif. Pendekatan ini menegaskan bahwa pengelolaan utang bukan semata tindakan administratif, melainkan bagian dari strategi pertahanan ekonomi nasional yang berbasis tata kelola terpadu dan akuntabel, sekaligus penegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Di sisi lain, kebijakan ini juga mencakup pengawasan terhadap utang swasta yang memiliki potensi menimbulkan risiko sistemik. Pengalaman krisis moneter 1997 dan 2008 menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan terhadap utang korporasi dapat menjalar menjadi krisis nasional. Karena itu, setiap perusahaan yang memiliki pinjaman luar negeri diwajibkan memberikan laporan aset, arus kas, dan posisi finansial secara terbuka kepada otoritas fiskal.

Negara berhak melakukan intervensi apabila utang swasta berpotensi mengancam stabilitas makroekonomi, karena kedaulatan fiskal tidak hanya menyangkut utang pemerintah tetapi juga utang sektor swasta yang dapat menimbulkan dampak struktural bagi perekonomian nasional.

Secara teoretis, kebijakan pengelolaan utang negara dalam konteks ini dapat dijelaskan melalui teori kedaulatan fiskal dan teori ketergantungan. Teori kedaulatan fiskal menekankan bahwa negara berhak penuh mengatur sumber pembiayaan dan penggunaannya tanpa intervensi eksternal, sebagai bentuk pertahanan ekonomi terhadap hegemoni finansial global.

Sedangkan teori ketergantungan menjelaskan bagaimana pola pinjaman luar negeri sering kali membentuk struktur ketergantungan baru, di mana negara berkembang kehilangan otonomi kebijakan akibat tekanan lembaga keuangan internasional. Kombinasi dua teori ini memperkuat urgensi bagi Indonesia untuk membangun sistem fiskal yang mandiri, adaptif, dan berbasis pada kepentingan nasional.

Dengan demikian, pengelolaan utang dalam kerangka RUUPNKS bukan sekadar upaya administratif, melainkan pernyataan politik ekonomi yang menegaskan hak negara untuk menentukan nasib fiskalnya sendiri. Utang harus dikelola secara berdaulat dengan prinsip bahwa pembangunan tidak boleh bergantung pada pinjaman yang menggerogoti kemerdekaan ekonomi. Saat utang menjadi alat untuk memperkuat bangsa, bukan melemahkan, di situlah kedaulatan sejati ekonomi Indonesia menemukan bentuk nyatanya.

Sudah lama ekonom kita hidup dari ilusi utang dan investasi asing. Alih-alih menemukan solusi kedaulatan ekonomi, yang terjadi justru mereka menjadi hit-girl yang “menghadirkan krisis” dan menghancurkan ekonomi kita. Saatnya kita bertobat dan ganti haluan ke ekonom-ekonomi Pancasila yang merdeka.

Leave A Reply

Your email address will not be published.