Apa Yang Tersimpan Dan Yang Tersembunyi di Balik Skandal Kasus Suap Meikarta

BEKASI,Harnasnews.com – Wajah  institusi antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak selamanya moncer. Sejak dibentuk melalui UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga ini telah mengalami pasang surut. Pasal 40 UU No 30/2002, adalah “pasal sakti”. Bunyinya, “KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”

Alih-alih meningkatkan profesionalitas dalam melaksanakan tugas, KPK membukukan catatan enam kali kekeliruan yang mengakibatkan turunnya kredibiltas lembaga. Pertama, KPK kalah melawan Setya Novanto dalam sidang gugatan praperadilan Jumat, 29 September 2017.

Kedua, kalah melawan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Keputusan tersebut juga berujung pada pengguguran status Hadi sebagai tersangka pada Selasa, 26 Mei 2015.

Ketiga, Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman ditetapkan sebagai tersangka akhir tahun 2016. Pasca ditetapkan sebagai tersangka, ruang kerja dan tempat yang terkait kasus korupsi digeledah KPK pada Senin, 5 Desember 2016. Tidak terima dengan penetapan status tersangka yang keliru, Taufiqurrahman mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pengajuan pra-peradilan tersebut dikabulkan Hakim I Wayan Karya, dengan pertimbangan Surat Keputusan Bersama (SKB).

Keempat, kasus besar melibatkan petinggi Polri, Komjen Pol Budi Gunawan. Sebagai calon tunggal Kapolri, saat itu, ia mendadak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan suap dan korupsi. Budi dan kuasa hukumnya kemudian mengajukan pra peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Gugatan tersebut dikabulkan Ketua Majelis Hakim Sarpin Rizaldi pada Senin, 16 Februari 2017.

Hakim Sarpin menilai penerimaan hadiah yang dilakukan Budi tidak terkait dengan kerugian negara, sehingga penetapannya sebagai tersangka dinilai tidak sah dan tidak mengikat hukum.

Kelima, penetapan status tersangka Ilham Arief Sirajuddin atas tuduhan korupsi Pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar tahun 2006 – 2012. Ia diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara. Pada Selasa, 12 Mei 2015, Ilham dan kuasa hukumnya mengajukan pra-peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Dipimpin Hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati, Ilham memenangkan pra-peradilan terhadap KPK. Putusan pra-peradilan Ilham menghasilkan tiga poin penting, yaitu penetapan Ilham sebagai tersangka tidak sah, penyitaan, penggeledahan dan pemblokiran rekening Ilham tidak sah, serta instruksi hakim kepada KPK untuk memulihkan hak sipil dan politik Ilham.

Keenam, Marthen Dira Tome, Mantan Bupati Sabu Raijua NTT. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pendidikan luar sekolah (PLS) senilai Rp 77 miliar. Saat itu, Marthen masih menjabat Kabid PLS Dinas Dikbud NTT tahun 2007. Namanya ditetapkan sebagai tersangka pada November 2014 oleh KPK. Tidak terima ditetapkan sebagai tersangka, Marthen mengajukan gugatan pra-peradilan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Gugatannya sempat dikabulkan pada 18 Mei 2016.

Kasus Ketujuh

Keenam contoh kasus di atas, terjadi karena kelengahan KPK. Di sisi lain, “kesaktian” yang diberikan negara kepadanya, tetap saja menyisakan lubang –sekalipun kecil— kelemahan. Seperti yang terjadi pada kasus “Skandal Suap Meikarta”.

Proyek properti yang “heboh” karena efek iklan dan promosi yang luar biasa masif itu, ternyata menyimpan banyak ketidakberesan. KPK lalu mencokok Bupati Bekasi (ketika itu), Neneng Hassanah Yasin (NHY) sebagai tersangka dalam kasus suap perizinan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Oleh pengadilan, ia dinyatakan terbukti bersalah dan diganjar hukuman 6 tahun penjara.

Selain NHY, kasus ini juga menyeret sejumlah nama lain. Per akhir Juli 2019, KPK menetapkan dua tersangka lain, Sekda Provinsi Jawa Barat IK, dan mantan Dirut Lippo Cikarang BT. Keduanya disangkakan tuduhan yang berbeda. IK disangka menerima suap sebesar Rp 1 miliar terkait proyek Meikarta. Sedangkan BT disangka menyuap mantan Bupati NYH Rp 10,5 miliar dalam beberapa tahap.

Menjadi menarik karena setelah penetapan itu, IK sepi dari pemberitaan. Sebaliknya BT justru bereaksi keras. Ia menolak semua tuduhan yang tak berdasar. Dalihnya, ia sama sekali tidak berurusan dengan proyek Meikarta. Karenanya, melalui Supriyadi, SH, pengacara yang ditunjuk, BT berencana mengajukan langkah hukum pra-peradilan. Nah!!!

Tak pelak, yang terjadi atas kasus BT, bisa jadi akan menjadi deretan ketujuh, ketidakcermatan KPK dalam menangani perkara. Dengan fakta-fakta yang dimilikinya, BT berpeluang lepas dari perkara ini.

Seperti diketahui khalayak, bak mendapat “durian kasus”, KPK bekerja marathon menangani Skandal Suap Meikarta. Tak kurang dari Bupati Bekasi, Sekda Provinsi Jawa Barat, dan sejumlah nama swasta diberondong tembakan penetapan tersangka.

Sayang, satu di antara tembakannya bisa dibilang salah sasaran. Tembakan terhadap BT bisa jadi merupakan tembakan yang salah, karena didasarkan atas keterangan palsu dan fitnah. Dalam pokok soal yang satu ini, penyelidik dan penyidik KPK sepertinya kurang teliti, atau bahkan tertipu kesaksian palsu.

Jika ditelisik ke belakang, menembak BT sebagai tersangka dalam kasus Meikarta memang menjadi ganjil. Ini bisa ditelusur melalui riwayat hubungan BT dengan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta.

Bermula dari peristiwa akhir tahun 2016, Lippo bekerjasama dengan mitra dari China untuk proyek Meikarta di Cikarang. Karena lokasi Meikarta berada di Cikarang, maka secara administratif, Lippo Cikarang (LC) dilibatkan pula untuk proyek Meikarta.

Hal ini lazim dilakukan, seperti halnya proyek Orange County dengan pihak Mitsubishi, Jepang atau Axia Service Apartment dengan pihak Toyota, Jepang. Lebih jauh pada awal pengembangan Lippo Cikarang tahun 1990-an, Lippo bermitra dengan pihak Hyundai, Korea dan Sumitomo, Jepang.

Karena BT saat itu menjabat sebagai Presdir LC, maka secara administratif menjadi terlibat. Akan tetapi, pada praktiknya, BT tidak mengetahui secara mendetail bagaimana pengaturan kerjasama antara Lippo dengan partner China. Yang diketahui BT sebatas, Lippo melalui LC memiliki saham di MSU sekitar 50%. Bentuk kontribusi saham berupa lahan milik LC. Sementara pihak China 50% berupa dana tunai.

Karena pihak Lippo tidak memiliki kompetensi melakukan pembangunan properti dengan konsep seperti Meikarta (mengadopsi konsep pengembangan kota baru di China), maka pembagian tugas di antara pemegang saham dalam kerjasama, seluruh keputusan strategis, manajerial dan tenaga kerja, penetapan kontraktor pelaksana, seluruh hal-hal operasional termasuk perizinan proyek Meikarta, 100% menjadi tanggung jawab pihak China.

Mengejar launching bulan Mei 2017 (awalnya ditargetkan Februari 2017), sementara manajemen tim yang dibentuk (perlu waktu untuk recruitment) pihak China belum dapat bekerja 100%, LC diminta membantu dalam hal administrasi sampai dengan MSU beserta jajaran Direksi dan Staf terbentuk. Pada waktu itu yang memegang kuasa adalah perwakilan dari pihak China. Kontraktor pelaksana juga dari China, jadi banyak sekali ekspatriat dari China.

Setelah manajemen MSU terbentuk, BT tidak lagi terlibat dengan proyek Meikarta. Manajemen MSU memiliki otoritas independen tidak terkait dengan LC. Namun karena perlu waktu untuk masa transisi, hal-hal yang bersifat administratif terkait dengan LC seperti kepemilikan lahan (yang harus pindah status menjadi milik MSU dan perizinan/tanah masih atas nama LC), maka pihak LC wajib membantu penyelesaian administratifnya.

Berkaitan kondisi di atas, dalam hal perizinan, secara alamiah EDS yang mengurus perizinan Meikarta, karena MSU belum memiliki tim perizinan sendiri. Namun pada pelaksanaannya, ada sedikit keengganan dari pihak EDS untuk melaksanakannya. BT melaporkan hal ini pada pihak China, dan selanjutnya perwakilan dari pihak China itulah yang memerintahkan memberikan extra bonus sebesar Rp. 3,5 miliar. Terkait dengan pemberian Rp. 3,5 miliar, karena pada waktu itu BT masih bertindak sebagai authorized signature, maka voucher dan cek ditandatangani oleh BT, setelah mendapatkan perintah dari perwakilan partner pihak China tersebut.

Fitnah EDS Terhadap BT

Sejak mendapatkan bonus Rp 3,5 miliar, EDS bergerak “lincah” mengurus perizinan. Diawali dengan keterangan EDS yang mengaku mendapat info dari staf bupati NHY bernama Topik, bahwa NHY meminta fee sebesar Rp 10 miliar – Rp 20 miliar untuk pengurusan perizinan Meikarta. Ironisnya, BT sendiri tidak pernah mendapat laporan itu dari EDS.

Yang ia dapat justru peringatan dari SAT, staf di bawah EDS, bahwa kalau EDS nanti minta fee atas nama pejabat, agar diabaikan saja. BT sendiri sebagai orang dengan latar belakang perbankan, tidak memiliki interest untuk dekat atau percaya kepada EDS.

Ketidaktertarikan itu lebih kepada gaya hidup EDS yang tidak sesuai dengan penghasilan bulanannya. Sebagai pegawai dengan gaji tertentu sesuai posisinya, sangat aneh jika EDS memiliki rumah mewah dan hobi otomotif yang mahal. Sebagai catatan, audio mobil EDS saja berhaga ratusan juta rupiah. Dugaan BT benar, dan terungkap dalam fakta persidangan bahwa memang bagian perizinan yang dipimpin EDS mendapatkan bagian dari fee perizinan yang diurus.

Di tempat terpisah, EDS sudah meminta maaf kepada BT secara pribadi. Ia bahkan berdalih, tindakannya “mencatut” nama BT karena tidak mau melibatkan orang lain. “Cukup kita-kita saja,” kata EDS kepada BT.
EDS juga mengaku kepada BT, tidak bisa mengingat jumlah dana yang ia berikan kepada para pejabat selama ia bekerja di bagian perizinan. Meski begitu EDS toh menandatangani BAP yang berisi fitnah terhadap BT. Kepada BT, ia berdalih karena diancam rumahnya akan disita.

Dalam persidangan sebelumnya, EDS dan SAT secara terpisah mengatakan bahwa sebetulnya mereka dengar ada deal soal fee antara NHY dan BS dari HJS. Fakta ini terungkap dalam fakta persidangan dimana NHY mengatakan ada pertemuan dengan BS membahas soal fee Rp 10 miliar.

Sedangkan EDS mengaku melaporkan permintaan fee dari NHY ini pada BT, dan BT menyetujuinya. Dan BT mengatakan akan disiapkan uangnya. Di sinilah BT merasa benar-benar ditikam dari belakang. Karena faktanya, BT tidak pernah mendengar permintaan fee untuk NHY dari EDS. BT tidak pernah menjanjikan untuk mempersiapkan uang untuk pemberian fee. Ia sudah membantah di persidangan. Sayang, penyidik maupun majelis hakim tidak menanyakan lebih mendetail, seperti kapan EDS meminta fee kepada BT, kapan BT pernah menyatakan kesanggupan memberikan fee, kapan fee diserahkan, siapa saja saksinya, dan seterusnya.

Disayangkan juga majelis hakim tidak menguji keterangan EDS yang mengaku menerima uang tunai Rp 10 miliar melalui MPL (sekretaris direksi). Bahkan dikatakan, uang tunai diterima di helipad Lippo Cikarang, diserahkan oleh MPL. EDS juga menyebutkan, sumber uang dari Karawaci.

Atas keterangan itu, pun saksi MPL sudah membantah dan menolak. Ia sama sekali tidak pernah merasa mengambil uang Rp 10 miliar di helipad dan menyerahkannya kepada EDS. Sebagai sekretaris, jangankan uang Rp 10 miliar, uang kecil pun harus ia catat. Sedangkan, tugas MPL di kantor itu adalah mengurus kas kecil. Tidak ada kewenangan pada dirinya untuk menangani uang Rp 10 miliar. Apalagi jika disebutkan uang tunai. Betapa berat uang sejumlah Rp 10 miliar, meski dalam pecahan 100-ribuan sekalipun. Uang satu miliar rupiah saja sangat berat, apalagi 10 miliar! Ditambah, ia seorang perempuan yang secara fisik tidak sekuat laki-laki pada umumnya.

Hingga pada titik itu, fitnah dan tuduhan EDS terhadap BT sama sekali tidak diperkuat oleh kesaksian siapa pun. Sebaliknya, justru dilemahkan, salah satunya oleh MPL sebagai sekretaris. Apa yang terjadi, di persidangan justru saksi MPL diancam dengan pasal memberi kesaksian palsu.

Sedangkan, fakta persidangan sebelumnya, terkait perkara Neneng dan Billy, sama sekali tidak disebut-sebut keterlibatan BT. Padahal, esensi kasus adalah suap Rp 10 miliar kepada Neneng. Menjadi sangat janggal ketika BT kemudian menyuap Neneng Rp 10 miliar.

Tak heran jika BT, yang sudah mendedikasikan 30 tahun hidupnya untuk mengabdi di Lippo Group merasa dizolimi, sekaligus dikorbankan. “Sampai liang kubur, akan saya kejar kebenaran itu. Ini masalah kredibilitas dan nama baik. Saya juga punya keluarga,” ujar BT dalam keterangan persnya.

Alhasil, Skandal Meikarta masih akan terus bergulir. Bukan tidak mungkin, BT adalah kunci untuk menguak aktor intelektualis sejati dalam Skandal Meikarta. (Sygy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.