
Banjir Aceh Utara 2025, Krisis Ekologis, Kegagalan Tata Ruang, dan Penanganan Darurat yang Berpacu dengan Waktu
Aceh Utara, Harnasnews – Banjir yang melanda Aceh Utara pada akhir november 2025 menandai salah satu fase darurat ekologis terburuk dalam lima tahun terakhir. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara menetapkan Status Siaga Bencana Banjir melalui Keputusan Bupati Nomor 360/845/2025, yang ditandatangani Bupati H. Ismail A. Jalil, MM (Ayah Wa) pada minggu, 23 November 2025.
Status ini disahkan setelah curah hujan ekstrem memicu luapan sungai yang telah lama terjadi pendangkalan dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Penetapan status darurat ini bukan hanya merespons kondisi banjir saat ini, tetapi juga menjadi pengakuan resmi bahwa Aceh Utara menghadapi ancaman bencana ekologis yang semakin kronis.
Kunjungan Bupati dan Distribusi Bantuan Pemerintah Berpacu dengan Kondisi Lapangan
Beberapa jam setelah menetapkan status siaga, Bupati Aceh Utara turun langsung meninjau daerah bencana bersama Kepala Dinas Sosial dan Kalaksa BPBD. Kunjungan dilakukan ke sejumlah titik rawan, termasuk lokasi pengungsian di Tanah Jambo Aye, Seunuddon, dan Langkahan.
Di lapangan, pemerintah setempat menyalurkan bantuan masa panik (makanan siap saji, air mineral, tikar, perlengkapan anak). perlengkapan kesehatan dasar, obat-obatan, dan kebutuhan prioritas untuk ibu hamil serta balita.
“Penanganan kita fokus pada keselamatan warga dulu. Setelah aman, barulah kita lakukan pendataan kerusakan,” ujar Bupati saat memberikan arahan di posko pengungsian.
Hingga Senin malam (24/11/2025), banjir terus meluas dan merendam 8 kecamatan, 1. Tanah Jambo Aye, 2. Seunuddon, 3. Baktiya Barat, 4. Langkahan, 5. Samudera, 6. Syamtalira Aron, 7. Lapang, 8. Muara Batu.
Menurut data BPBD Aceh Utara, pada 24 November 2025, pukul 23.30 WIB, 4.555 jiwa (2.723 KK) terdampak, 1.754 jiwa (589 KK) mengungsi, 65 ibu hamil, 366 balita, 154 lansia, dan 6 penyandang disabilitas.
Infrastruktur yang terdampak banjir meliputi, 616 hektare sawah, 555 hektare tambak, puluhan sekolah dan dayah, rumah ibadah, jalan utama dan jembatan desa, serta pemukiman padat di berbagai gampong.
Pengungsian terbesar tercatat di Tanah Jambo Aye, Seunuddon, dan Samudera, dengan jumlah pengungsi naik signifikan dalam 24 jam terakhir.
Akar Masalah Banjir Bukan Sekadar Curah Hujan, Tetapi Kegagalan Pengelolaan Hutan.
Meskipun curah hujan tinggi menjadi pemicu langsung banjir, masyarakat dan ahli lingkungan menyebut penyebab utamanya terletak pada Illegal Logging yang Masif,
Warga Lhoksukon menyebut bahwa wilayah hulu sungai di pegunungan Aceh Utara perbatasan bener meriah kini hampir tidak memiliki pohon besar.
“Hutan sudah habis. Semua ditebang untuk kebun dan kayu. Kalau hujan sedikit saja, air langsung turun ke kampung. Banjir hari ini adalah warisan dari kerusakan alam bertahun-tahun,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Peningkatan kebutuhan lahan kebun menyebabkan konversi hutan lindung menjadi kebun kelapa sawit, pinang, dan kakao—banyak yang dilakukan tanpa izin.
Pendangkalan Sungai dan Muara terjadi di beberapa sungai besar di Aceh Utara mengalami sedimentasi berat karena material tanah dari hutan gundul terbawa ke hilir. Kondisi ini diperparah dengan minimnya pengerukan rutin.
Tata ruang yang tidak berjalan akibat banyak pemukiman tumbuh di bantaran sungai tanpa analisis risiko bencana. Semua faktor tersebut mengakibatkan volume air permukaan meningkat drastis setiap kali terjadi hujan lebat.
Analisis Ahli Mata Rantai Kerusakan DAS di Aceh Utara
