
Banjir Aceh Utara 2025, Krisis Ekologis, Kegagalan Tata Ruang, dan Penanganan Darurat yang Berpacu dengan Waktu
Pengamat lingkungan dari Banda Aceh menilai bahwa banjir Aceh Utara merupakan refleksi dari kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureuto dan Krueng Pase yang terus memburuk sejak satu dekade terakhir.
Tiga aspek yang disorot, pertama hilangnya kanopi hutan. Hutan yang dulunya menahan air kini berubah menjadi permukaan terbuka yang mempercepat limpasan. Tanah yang tidak lagi menyerap air seperti tanah liat yang terkompaksi, akibat traktor dan alat berat tidak mampu menyerap air, membuat aliran permukaan meningkat hingga tiga kali lipat.
Merosotnya fungsi resapan air, zona resapan seperti rawa dan hutan gambut berubah menjadi pemukiman dan tambak.
Temuan ini sejalan dengan rekomendasi sejumlah lembaga lingkungan yang menyatakan bahwa banjir Aceh Utara dapat menjadi bencana tahunan yang semakin parah bila tidak ada kebijakan pemulihan hutan.
Bupati Aceh Utara mengeluarkan dua instruksi penting, Tenaga kesehatan wajib monitoring pengungsi. Petugas puskesmas dan bidan desa diminta, melakukan pemeriksaan harian, memantau ibu hamil, memberikan imunisasi pada balita, mendirikan klinik mini di posko pengungsian.
Sedangkan Camat Harus Tetap di Wilayah,
“Tidak boleh meninggalkan kecamatan. Laporan harus masuk setiap beberapa jam,” tegas Bupati.
Camat diminta memantau debit air, kondisi warga, dan kemungkinan pengungsian tambahan bila hujan kembali turun.
Tantangan di Lapangan seperti Logistik yang terbatas, Akses jalan terputus Laporan jurnalis lapangan menunjukkan bahwa beberapa desa terisolir akibat jalan tergenang setinggi 80–120 cm. Perahu karet menjadi satu-satunya akses untuk evakuasi.
Kendala utama yang dihadapi tim, akses distribusi logistik belum merata, sejumlah pengungsi masih bertahan di rumah panggung, kekhawatiran penyakit kulit dan ISPA mulai muncul, kebutuhan air bersih meningkat tajam.
Selain meminta pemerintah memperbaiki kebijakan lingkungan, masyarakat juga mendorong kesadaran kolektif untuk menjaga saluran air.
Seruan warga, menggali sendiri drainase di depan rumah, menjaga kebersihan saluran, tidak membuang sampah ke parit, serta memperkuat komunikasi antar-gampong.
“Jangan tunggu bantuan pemerintah dulu. Kalau parit kita sendiri saja tidak kita gali, banjir kecil pun akan jadi besar. Ini kerja bersama,” ujar warga Syamtalira Aron.
Jalan Panjang Pemulihan: Pemerintah Aceh Diminta Perkuat Regulasi Hutan Lindung
Para tokoh lingkungan meminta Pemerintah Aceh. Membuat regulasi baru sektor kehutanan yang lebih tegas dan memiliki mekanisme pengawasan terpadu. Melarang pembukaan lahan di zona rawan banjir dan hutan lindung. Melakukan rehabilitasi besar-besaran DAS yang mengalir ke Aceh Utara. Menghidupkan kembali patroli hutan dan pos pengawasan illegal logging. Dan yang terakhir mengeruk muara dan sungai primer setiap tahun.
Jika tidak ada langkah struktural, Aceh Utara disebut berpotensi mengalami kerugian ekonomi lebih dari ratusan miliar rupiah setiap tahun hanya dari bencana banjir.
Aceh utara pada titik kritis, banjir tahun 2025, menjadi pengingat bahwa bencana bukanlah fenomena alam semata, tetapi akumulasi dari kesalahan manusia dalam mengelola ruang hidup. Penanganan darurat terus digencarkan, namun tanpa upaya jangka panjang dalam pemulihan ekologis dan tata ruang, Aceh Utara akan terus berada dalam lingkaran bencana yang berulang.
Sebagaimana disampaikan salah satu warga Lhoksukon, “Banjir ini adalah milik kita bersama. Kita yang merusak, kita pula yang harus memperbaiki. Aceh Utara sudah semestinya harus bangkit.” (Zulmalik)
