
Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Awal mula krisis dari udang sampai rempah
Semua berawal dari sepotong udang beku. Pada Oktober 2024, badan pengawas pangan Amerika Serikat (FDA) mendeteksi kadar Cesium-137, itu zat radioaktif sisa reaksi nuklir, dalam produk ekspor Indonesia. Dunia tersentak. Tak lama, Belanda dan Jepang ikut melaporkan temuan serupa pada sepatu dan rempah-rempah dari negeri ini.
Dari Jakarta hingga Cikande, Banten, pemerintah mendadak gagap. Publik baru sadar bahwa “harta karun” ekspor bisa berubah jadi bom senyap. Di baliknya, ada aliran besi tua, scrap metal, yang datang tanpa pengawasan radiasi, membenamkan racun tak kasatmata ke jantung industri nasional.
Sang pembunuh senyap
Cesium-137 bukan sekadar logam berat. Ia adalah warisan sisa reaksi nuklir dengan waktu paruh 30 tahun, itu artinya, butuh tiga abad untuk benar-benar lenyap dari bumi.
Sekali mengendap di tubuh manusia, ia menyusup ke sumsum tulang, merusak sistem kekebalan, memicu kanker tiroid, dan dalam jangka panjang menyebabkan kemandulan hingga mutasi genetik. Menurut standar WHO-IAEA, suatu wilayah baru bisa dinyatakan “aman” bila level radiasi stabil di bawah 0,1 μSv/jam selama enam bulan berturut-turut.
Artinya, klaim aman dalam hitungan hari hanyalah ilusi! Itu isapan jempol belaka!
*Rantai kelalaian yang mempermalukan bangsa*
Bencana ini bukan jatuh dari langit. Ia lahir dari rantai kelalaian yang panjang dan sistemik. Audit BPK sejak 2021 sudah memperingatkan bahwa alat deteksi radiasi di pelabuhan tidak berfungsi. Tapi laporan demi laporan hanya jadi tumpukan kertas di laci pejabat. Akibatnya, scrap metal berisi Cs-137 melenggang masuk ke Indonesia, tanpa alarm, tanpa pengawasan, tanpa rasa takut.
Berikut Hasil Catatan BPK:
- Pada LHP No. 18/2021 temuannya, pengawasan impor scrap metal tidak efektif.
- Di LHP No. 22/2023, database bahan radioaktif belum terintegrasi
- LHP 2018, sistem lacak balik produk ekspor lema
Semuanya diabaikan. Negara tidur di tengah ancaman.
Jejak radiasi di industri pangan
Ketika BAPETEN menelusuri, hasilnya mengerikan:, yaitu ada 22 fasilitas industri di Kawasan Cikande terkontaminasi. Di antaranya pabrik Charoen Pokphand, raksasa pakan ternak dan unggas.
Bahaya itu nyata. Bila air, pakan, atau debu di lingkungan terpapar Cs-137, radiasi bisa masuk rantai makanan. Hewan memakannya, manusia mengonsumsinya, dan radiasi menetap di tulang serta organ selama puluhan tahun, itu sebuah bioakumulasi yang tak terhenti.
Dampaknya bukan cuma biologis. Ekspor udang, rempah, dan unggas anjlok. Pasar internasional ragu. Nama Indonesia di mata dunia tercoreng sebagai “eksportir pangan nuklir”.
Jejak tanggung jawab yang terpental
Krisis ini punya pelaku, bukan sekadar penyebab. Ada importir scrap yang menutup mata. Ada pejabat Bea Cukai dan Kemenperin yang membiarkan alat pendeteksi mati.
Ada BAPETEN dan KLHK yang gagal mengintegrasikan data nasional bahan radioaktif. Dan ada pengelola kawasan industri yang tak menyediakan sistem deteksi di pintu gerbang.
Undang-undangnya sudah jelas:
