Kasus ASDP: Preseden Buruk Penggerogot APBN, Ini Saran IAW untuk Presiden Prabowo

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Ketika satu Keppres mengubah seluruh ekosistem perampasan atas kerugian negara

Dalam 15 tahun memantau kasus-kasus BUMN, saya belum pernah melihat sesuatu yang bergerak secepat rehabilitasi ASDP. Lima hari setelah majelis hakim menjatuhkan vonis tipikor, status “terpidana” hilang melalui sebuah Keppres. Itu tentu kewenangan Presiden Prabowo Subianto.

Tetapi yang tidak bisa hilang justru yang paling penting, yakni: kerugian negara Rp 1,253 triliun yang kini tidak memiliki penanggung jawab!

Untuk pertama kalinya, Indonesia menghadapi preseden: rehabilitasi lebih cepat daripada proses eksekusi kerugian negara. Dan karena ini preseden pertama, maka ia masih bisa, dan harus, dievaluasi.

Kronologi kasus 2014-2025

1. Fase penolakan kapal tua tahun 2014, PT Jembatan Nusantara (PT JN) menawari ASDP untuk membeli 53 kapal mereka. Hasil evaluasi saat itu:

  • Kapal dibuat antara tahun 1959–1966;
  • Kondisi teknisnya, non-performing vessels;
  • Risiko: BUMN tidak boleh membeli besi tua sesusi UU BUMN pasal 66 terkait prinsip kehati-hatian.

ASDP menolak mentah-mentah. Dan mestinya, cerita berakhir di sini.

2. Fase kembali hidup pada 2017–2018, setelah pergantian manajemen ASDP tahun 2017, pintu lama mendadak terbuka lagi. Pertemuan informal terjadi:

  • Di Hotel Shangri-La;
  • Kantor PT JN;
  • Rumah pribadi Adjie, sosok yang bukan direksi, bukan komisaris, tetapi menentukan arah transaksi.

Inilah shadow director dalam definisi textbook.

3. Rekayasa kebijakan internal tahun 2018–2019, ini bagian paling penting dalam konstruksi korupsi korporasi:

  • Tanggal 19 Februari 2018 terbit Keputusan Direksi (KD) nomor 35/2018. Dokumen ini adalah instrumen kebijakan internal yang ditetapkan oleh Direksi untuk mengatur: pedoman kerja sama, SOP internal, mekanisme pengadaan, tata kelola proyek, perubahan aturan internal perusahaan. Artinya pedoman kerja sama diperketat.
  • Kemudian tanggal 6 Maret 2019 terbit KD 86/2019. Tiba-tiba semua syarat paling krusial dihapus, sehinggavmenjadi: tidak perlu feasibility study; tidak perlu persetujuan komisaris; tidak perlu evaluasi kemampuan finansial mitra. Ini disebut policy engineering.
  • Lantas tanggal 23 Agustus 2019, kontrak KSU ditandatangani sebelum komisaris memberi persetujuan.
  • Tanggal 11 Oktober 2019 ASDP melapor ke KemenBUMN bahwa KSU “menuju akuisisi”. Padahal komisaris hanya setuju kerja sama operasional, bukan akuisisi.

Ini pelanggaran terhadap UU PT pasal 97(2), UU BUMN, prinsip GCG, dan early warning system.

4. Manipulasi valuasi tahun 2021, dimanabKJPP MBPRU tiba-tiba menaikkan nilai kapal menjadi Rp 2,092 triliun setelah pertemuan informal. Padahal BUMN PT BKI (Biro Klasifikasi Indonesia) memberi laporan teknis, isinya 9 kapal tidak layak akuisisi. Namun itu diabaikan.

Pola ini identik dengan temuan BPK di kasus Jiwasraya; Asabri; Garuda dan Krakatau Steel.

5. Penetapan harga di rumah pribadi tanggal 20 Oktober 2021, dimana seluruh direksi ASDP datang ke rumah Adjie. Di situ, bukan di rapat direksi, bukan di ruang resmi, ditetapkan angka: harga akuisisi Rp 1,272 triliun. Tidak ada notulen. Tidak ada keputusan direksi. Tidak ada persetujuan komisaris.

Ini pelanggaran langsung terhadap UU Tipikor pasal 3 terkait penyalahgunaan kewenangan.

6. Aliran dana pada 2022, ASDP mengalirkan Rp 1,223 triliun ke tiga entitas pengendalian Adjie–Andi Mashuri yaitu: PT Mahkota Pratama Rp 540 miliar, ini afiliasi; PT Indonesia VIP Rp 60 miliar, juga afiliasi dan PT JN Rp 380miliar sebagai entitas utama.

Polanya layering TPPU yang sangat mirip pada kasus Jiwasraya–Asabri.

Penyidikan KPK 2023–2025 dan putusan

KPK menetapkan kerugian Rp 1,253 triliun berdasarkan audit BPKP. Majelis Tipikor memutus bersalah para pelaku. Semua unsur terpenuhi yaitu: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan dan kerugian negara nyata. Sampai di sini, semua berjalan sesuai hukum.

Lalu muncul fase yang mengubah semuanya.

Aspirasi DPR lalu ke Sekneg kemudian Keppres tercepat

Rantai dokumen administrasi itu: aspirasi dari anggota DPR. Diteruskan ke Sekretariat Negara. Dimintakan pendapat ke Mahkamah Agung. Presiden menerbitkan Keppres rehabilitasi dalam 5 hari setelah putusan pengadilan. Itu prosesnya administratif, ini bukan proses antikorupsi.

Tetapi justru terjadi hal-hal berikut: tidak ada due diligence kerugian negara. Tidak ada audit ulang. Tidak ada verifikasi UBO. Tidak ada pemeriksaan aliran uang. Tidak ada review terhadap rekayasa valuasi.

Kosongnya penanggung kerugian negara

Ini konsekuensi terbesar Keppres tersebut:

Leave A Reply

Your email address will not be published.