
Sebab, paparnya, hal tersebut masih berada pada ruang lingkup dan tanggung jawab KPU. Untuk itu, tidak boleh dilemparkan masalah ini ke lembaga lain.
Sebelumnya, pada Selasa (23/5) Mahfud MD menyebutkan bahwa kecurangan memang terjadi dalam lima kali penyelenggaraan pemilu terakhir.
“Karena sudah lima kali pemilu kita tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 curang terus. Tetapi beda saudara yang curang sekarang itu adalah peserta pemilu sendiri, bukan pemerintah,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan hal itu jauh berbeda apabila dibandingkan semasa Orde Baru berkuasa, di mana sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu sering diatur siapa pemenangnya dan partai apa mendapat berapa banyak suara.
“Kalau dulu zaman Orde Baru itu ndak bisa dibantah, yang curang pemerintah terhadap rakyat. Pokoknya yang menang harus Golkar, pemilu besok yang Golkar dapat sekian, PPP sekian, PDI sekian, sudah diatur. Itu bukan berita bohong, memang iya,” ujarnya, dilansir dari antara.
Sementara dalam lima kali pemilu terakhir, Mahfud menyebut kecurangan terjadi antara rakyat dengan rakyat dan dilakukan peserta pemilu.
Mahfud mencontohkan modus kecurangan yang terjadi adalah peserta pemilu membayar orang tertentu di tempat pemungutan suara (TPS) untuk memalsukan hasil pemungutan suara yang diserahkan ke kelurahan, kecamatan dan seterusnya.
Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2003 secara resmi membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya adalah menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.
Mahfud bahkan mengaku sudah sempat berpesan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk bersiap-siap menghadapi gugatan kecurangan pemilu.
Ia menitipkan pesan agar segenap pihak terus memperkuat literasi politik maupun media untuk menjaga Pemilu 2024 agar lebih demokratis. (qq)