LPSK: Kasus Kekerasan Seksual di DIY Patut Mendapat Perhatian

Menurut dia, tidak jarang LPSK menemukan dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, korban memilih diam karena pengaruh faktor budaya.

“Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dianggap aib keluarga sehingga mereka cenderung menutupi kasus tersebut, dan cenderung untuk tidak memberikan kesaksian atau membuka persoalannya ke ranah publik,” ucapnya.

Tindakan kekerasan seksual, kata dia, justru tidak jarang ditemukan di lingkungan-lingkungan yang hubungannya antara pelaku dan korban cukup dekat. Misalnya, lingkungan keluarga, lingkungan ketetanggaan, dan lingkungan pendidikan.

Oleh karena itu, LPSK sangat mengharapkan kerja sama di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa dilakukan lebih baik mengingat saat ini sudah terdapat kantor perwakilan LPSK di Yogyakarta yang terletak di Jalan Kusumanegara.

“Dengan demikian, (jarak) akses saksi maupun korban bisa menjadi lebih pendek untuk mendapatkan layanan dari LPSK. Layanan yang bisa diberikan selain perlindungan fisik juga perlindungan hukum,” katanya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana bekerjasama (DP3AP2) Erlina Hidayati mengatakan bahwa di DIY tercatat 1.282 kasus kekerasan yang diadukan oleh korban selama 2022.

Erlina menyebut kasus kekerasan di lingkungan kampus di DIY mendapat perhatian tersendiri karena sebagian besar kasus kekerasan yang dilaporkan adalah kekerasan seksual.

Sebagai bentuk keseriusan, Pemprov DIY selama ini telah menanggung biaya pendampingan korban kekerasan seksual, termasuk pendampingan psikologi, hukum, rohani, fisum, serta berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkan korban.

“Memang menjadi keprihatinan bersama bahwa di kampus yang seharusnya institusi pendidikan dan sebagian besar adalah orang-orang dewasa masih terjadi kekerasan seksual. Ini ‘kan bertentangan dengan budaya di DIY,” kata Erlina.

Leave A Reply

Your email address will not be published.