Matinya Civil Sociaty di Rezim Sipil

Pertanyaan besarnya adalah masihkah bangsa ini menganut sistem pemerintah demokrasi?
Jika, demikian, kata Idrus, maka logika sederhananya adalah kenapa negara membatasi kelompok-kelompok sipil dalam penyampaian pendapat di ruang publik?

“Atau memang benar rezim saat ini sudah mulai merasakan apa yang dilakukan oleh kelompok sipil sebagai sebuah ancaman terhadap pemerintah dalam hal ini rezim yang berkuasa.

“Seperti kejadian di Gedung Joang 45 di jalan Mayjen Sungkono Surabaya sepatutnya tidak terjadi jika kita memahami betul esensi berdemokrasi. Sepanjang bukan menjadi ancaman buat negara, sesungguhnya kebebasan dalam penyampaian pendapat di muka umum itu dijamin oleh konstitusi UUD NRI 1945 pasal 28,” kata Idrus.

Idrus berpendapat, seharusnya pemerintah merangkul kelompok yang dianggap dalam perspektif
negara sebagai sebuah ancaman untuk melakukan dialog untuk didengarkan pandangan terkait dengan maksud dan pandangan dari kelompok masyarakat sipil atau dilakukan semacam diskusi publik untuk terlaksananya pola komunikasi yang baik antara negara dengan masyarakatnya.

Dia berpandangan, biar publik yang menilai, jika memang gagasan yang dihadirkan bertentangan dengan semangat konstitusi negara maka sudah tentu akan di abaikan oleh publik.

“Kondisi saat ini yang kita hadapi sangat berbahaya dalam berdemokrasi apalagi partisipasi publik mulai terancam. Jangan sampai ada adagium lagi yang berkembang bahwa sepertinya ada Aksioma pokitik yang sengaja di rancang bahwa kita lebih cenderung menajamkan konflik daripada mencari konsensus,” katanya.

Sebagai kepala pemerintahan dalam hal ini presiden, harus dapat melihat fenomena ini sebagai suatu ancaman kebebasan penyampaian pendapat. “Jika ini terjadi maka, anggapan publik akan kembali lagi menganggap bahwa kita mengalami kemunduran seperti rezim-rezim sebelumnya,” pungkasnya. (Red)

Leave A Reply

Your email address will not be published.