Megawati Kena Frank Pencitraan Mahfud MD

Oleh Agus Wahid

Drama politik percawapresan di “geng” PDIP berakhir. Hal itu ditandai dengan Megawati Soekarnoputeri mengumumkan secara resmi, Machfud MD sebagai Cawapres Ganjar Pranowo. Sebuah keputusan politik yang menyingkirkan beberapa cawapres lainnya seperti Andhika Perkasa, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bahkan Gibran yang beberapa hari lalu digadang-gadang sebagai pendamping Ganjar Pranowo. Yang perlu kita telaah lebih jauh, apa faktor krusial yang membuat Megawati akhirnya memilih Menko Polhukham itu? Dan yang jauh lebih substantif, jika pasangan Ganjar-Machfud berkuasa, bagaimana nasib Indonesia ke depan? Akan terjadi rekonstruksi yang mencerahkan (maju dan beradab) atau justru semakin tersungkur?

Sulit disangkal, pilihan terhadap Machfud MD (MMD) lebih dikarenakan faktor indentitasnya sebagai orang Nahdliyyin. Di samping MMD sebagai putera asli Madura dan secara kultural lokal Pulau “Garam” NU dinilai sebagai “agama”, namun di manapun tempat atau forum, MMD selalu menyebut dirinya sebagai orang Nahdliyyin. Jadi, tidaklah meleset Megawati mengambil MMD sebagai pendamping Ganjar karena mempertimbangkan identitas kenahdliyyinan. Pertimbangan ini pun menunjukkan PDIP dan gengnya sesungguhnya menggunakan politik identitas. Paradoks dengan sikap dan opini yang dibangun selama ini yang notabene anti politik identitas.

Mengapa pilih MMD? Fakta politik beberapa bulan terakhir menunjukkan, jauh sebelum Anies Baswedan menetapkan pasangannya (Muhaimin Iskandar) sebagai Cawapresnya, sesungguhnya Machfud MD tak pernah masuk dalam radar yang akan mendampingi Ganjar. Namun, masuknya Gus Imin sebagai pendamping Anies dan fakta dukungan politik di level grass-root demikian luar biasa seperti yang kita saksikan di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Bandung, Bogor, Makassar dan lainnya. Tak bisa disangkal, kehadiran AMIN di manapun selalu disambut dengan lautan manusia. Sangat menggetarkan lawan politiknya.

Semua pemandangan lautan massa itu membuat Megawati tampak panik. Political panic yang membuat Megawati memandang sebelah mata ikatan emosional dengan AM Hendropriyono yang menyuguhkan menantunya (Andhika Perkasa) sebagai cawapres. Bahkan, mengabaikan Sandiaga Uno, yang melalui PPP selalu menempel Megawati sejak Ganjar ditingkatkan penugasannya sebagai capres. Kepanikan politik itu pula yang mendorong Megawati tak punya opsi lain kecuali harus memilih sosok Nahdliyyin sebagai wakil Ganjar.

Langkah Megawati menjadi terobosan di tengah topografi politik Nahdliyyin yang sudah digapai pasangan AMIN. Maka, untuk merebut basis massa Nahdliyyin di Jawa Timur dan Jawa Tengah memang harus dengan menghadirkan sosok yang beridentitas Nahdliyyin. Meski tidak mungkin bisa memindahkan secara total dalam waktu singkat terhadap basis massa Nahdliyyin yang sudah “kesengsem” terhadap pasangan AMIN, namun pencawapres MMD diharapkan mampu membelah basis massa AMIN dari unsur Nahdliyyin itu.

Jika tidak merekrut unsur Nahdliyyin, maka basis massa Nahdliyyin Jawa Timur ataupun Jawa Tengah berpotensi besar terlepas. Setidaknya, dalam jumlah besar, suara dari kaum Nahdliyyin akan tetap pilih AMIN. Ini berarti potensi kekalahan Ganjar di dua daerah (Jatim dan Jateng) di depan mata. Sementara, PDIP sebagai komandan koalisi bersama PPP, Hanura dan Perindo bertekad harus memenangkan kontestasi pilpres. Karena itu, meski opsi (pilih MMD) sangat terpaksa, tapi itu harus dilakukan.

Cukup cermat kalkulasi Megawati. Makes sense. Namun, itulah politik Megawati. Harus kita catat, kaum Nahdliyyin bisa dibilang 99% muslim-muslimah. 1% lainnya non muslim, tapi ngaku Nahdliyyin. Sementara, dalam berbagai kesempatan Ketua Umum PDIP dengan lantang dan sinis menyatakan PDIP tak butuh suara kaum muslim-muslimah. Lebih dari itu Ketum PDIP ini juga sangat sering mencederai kepentingan umat, dalam level kebijakan (perundang-undangan atau implementasi). Sering kali juga nyinyir terhadap kegiatan keagamaan kaum muslim-muslimah. Namun, demi memenangkan kontestasi pilpres, Megawati menjilat kembali ludahnya sendiri, tanpa malu dan tanpa merasa berdosa terhadap umat.

Kini, tinggal umat harus mampu merewain (memutar ulang) rekam pelecehan itu, lalu ambil sikap politik tegas: no way for Megawati, her party and her special person who instructed as a vice-president. Inilah sikap tegas yang haruslah ditunjukkan di saat krusial seperti pilpres ini. Tidak mudah untuk menjaga konsistensi (keteguhan) sikap politik itu, di level grassroot ataupun elitis. Mendasarkan sikap pragmatisme masyarakat saat ini, konsistensinya mudah diubah, meski hanya dengan recehan rupiah, tanpa mengingat dampak pemasungan hak-hak selama lima tahun ke depan. Inilah problem politik liberal.

Kini, kita perlu merenung kalkulasi Machfud effect secara elektoral. Di atas kertas, pemilihan MMD memang ada pengaruh positifnya terhadap elektoral yang ditarget. Namun, Megawati tampak tidak komprehensif dalam mengkalkulasi. Maklum. Dalam suasana panik, memang tetap saja terdapat pemikiran yang tidak komperhensif. Dalam kaitan memilih MMD, ada beberapa catatan yang tampaknya adanya sejumlah faktor sosiologis yang diabaikan.

Beberapa faktor itu dapat kita telaah secara kritis. Pertama, Megawati kurang memahami data mikro sosiologis MMD sebagai jatidiri Nahdliyyin. Dalam beberapa catatan internal Nahdliyyin, MMD dinilai bukan kadernya. Terlalu elitis. Tidak mengakar. Tidak nice looking di mata kaum Hawa. Bahkan, sebagian masyarakat menilainya terlalu angkuh dan Kaku. Kadang juga tidak konsisten pendiriannya. Mudah condong mencari posisi aman (savety playing).

Itulah sebab saat pilpres 2019 yang menjadi argumentasi kuat menolak MMD sebagai cawapres Jokowi, lalu dalam hitungan beberapa menit digantikan KH. Ma`ruf Amin. Dari proporsi jatidiri kenahdliyyinan itu, kiranya sangat dipertanyakan efek elektoral MMD. Ada kemungkinan besar munculnya sentimen positif karena kesamaan daerah kelahiran dari sebagian masyarakat Madura yang tertarik pada MMD. Namun, mayoritas grass-root Nahdliyyin di penjuru Tanah Air akan lebih melihat sosok Gus Imin, di samping faktor utamanya Anies Baswedan sebagai capresnya yang memang memiliki sejumlah keunggulan komparatif dan kompetitif.

Kedua, masih segar di ingatan publik adalah sikap dan pernyataan yang sangat tidak empatik terhadap persoalan hak-hak yang sangat asasi pada masyarakat Rempang. Kata-kata “mengosongkan” dan itu beda dengan menggusur yang disampaikan Menko Polhukam itu sangat menyakitkan perasaan masyarakat Rempang dan rumpun etnis Melayu pada umumnya, bahkan masyarakat lainnya di Nusantara yang ikut merintih menyaksikan penginjak-injakan hak-hak hidup masyarakat Rempang. Pernyataan MMD sungguh tidak berkemanusiaan.

Dalam kaitan pilpres ini, pencawapresan MMD menjadi faktor kontraktif atau reduktif. Secara hipotetis dan psikologis, barisan sakit hati dari rumpun Melayu apalagi masyarakat Rempang tak akan mungkin menjatuhkan pilihan politiknya kepada MMD. Berarti, pasangannya (Ganjar) terkena getahnya (berpotensi lose). Akan semakin besar jumlah hilang suaranya jika dikaitkan dengan para pejunjung HAM yang bersifat nasional.

Ketiga, dengan kapasitasnya sebagai Menko Polhukam, MMD tak bisa cuci tangan dari terbitnya Keppres No. 17 Tahun 2022. Memang ada 12 jenis pelanggaran HAM berat yang terjadi pada sebelum dan selama Soeharto memimpin, salah satunya (justru yang pertama) adalah peristiwa 1965 – 1966. Dapat dipahami ucapan prihatin Presiden yang mendalam terhadap 12 tragedi kemanusiaan itu, sehingga perlu minta maaf. Tapi, ketika salah satunya pelanggaran yang dilakukan PKI dan termasuk pihak yang harus dimintai maaf apalagi minta direhabilitasi, inilah problem politik-ideologis yang sangat melukai perasaan para korban kekejaman dan kebiadaban PKI.

Sebagai sosok yang tahu persis perjalanan sejarah nasional, terutama terkait gerakan komunis di Tanah Air, harusnya MMD tidak membiarkan masuknya kejahatan PKI sebagai korban yang harus dimintai maaf, apalagi disertai program rehabilitasi nama baik dan bantuan sosial kepada para korban PKI. Perlu kita garis-bawahi Keppres tersebut terutama bagi seluruh komponen masyarakat yang menjadi korban keganasan PKI akan melihat sikap politik MMD. Seorang MMD dinilai gagal dalam membedakan sejumlah pelanggaran HAM yang tertuang dalam Keppres 17 Tahun 2022. Memang, PKI telah melakukan kejahatan HAM berat, tapi tidak harus masuk dalam paket yang dimintai permaafannya dan merehabilitasi nama baiknya serta program bantuan sosial bagi keluarganya.

Sebuah renungan, berapa jumlah penduduk kita yang dulu menjadi korban keganasan PKI, baik dari anasir Nahdliyyin, masyarakat muslim-muslimah pada umumnya, bahkan kalangan nasionalis yang dulu memang diburu? Pasti jutaan. Pada akhirnya, mereka akan melakukan perlawanan dengan tidak rela memilih atau mendukung MMD dalam pilpres 2024.

Keempat, MMD tergolong menjebak Habib Rizieq Shihab (HRS), meski dengan ucapan komparatif dan mengecilkan sosok HRS itu. Sikap nyinyirnya mendorong massa pengagum HRS membuktikan kekeliruan ucapan MMD. Kerumunan massa pecinta HRS yang dengan system ubin sebagai pendekatan penghitungan mencapai kisaran 5 juta hal ini menjadi pintu masuk untuk mengkriminalisasi HRS dengan argumen tidak mentaati aturan social distansing semasa covid-19 itu. Fakta bicara, buntutnya Panjang: HRS berhasil dijebloskan.

Catatan kriminalisasi itu di mata keluarga besar pecinta HRS di seluruh Tanah Air tak akan pernah lupa dengan penistaan MMD. Seberapa besarnya, sulit dicari angka pastinya secara matematis. Namun, jika kita mengunakan sistem hitung “aksentuasi”, kita bisa menghitung berapa banyak jumlah habaib dan ulama di Tanah Air ini. Memang tetap terbatas jumlahnya. Tapi, jika kita kaitkan dengan aksentuasinya, maka jumlahnya puluhan jutaan. Mereka yang merasa gurunya atau sahabatnya didzalimi MMD akan berhitung: inilah saatnya membalas karma. Tidak dengan kata kotor apalagi tindakan kekerasan secara fisik, tapi cukup dengan sikap “sorry to say, we can`t choose MMD”.

Dan kelima, publik belum bisa melupakan pernyataannya, “Malaikat pun jika masuk dalam sistem saat ini akan menjadi Iblis”. Pernyataan MMD benar. Bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis. Namun, pernyataan itu juga membenarkan sistem yang amburadul itu. Yang menjadi persoalan serius, dengan masuknya MMD sebagai cawapres dan jika berhasil dalam kontestasi, justru akan memvalidasi sistem Iblis yang sudah merajalela. Maka, negeri ini di masa mendatang akan jauh lebih hancur.

Kredibilitasnya sebagai ahli hukum dan komitmennya untuk menegakkan hukum akan berubah masuk ke dalam sistem Iblis. Minimal, MMD tak akan mampu bersikap adil terhadap para pelaku kejahatan, terutama dari kaum keah putih. Di depan mata, MMD tak akan berani menyentuh Ganjar dan Puan Maharani yang menurut penuturan Nazarudin (mantan Bendahara DPP Paryai Demokrat) dan Setyo Novanto (mantan Ketua Umum Golkar) kedua elit PDIP itu sama-sama menerima dana haram AS$ 500.000. Juga, tak akan mengutak-utik keterlibatan suami Puan Maharani dalam kasus BTS di Kementerian Kominfo itu.

Dalam kaitan itu, Megawati gagal total memahami integritas MMD dalam dunia hukum. Kesan hebat MMD yang dikenal berani membongkar dugaan transaksi yang mencurigakan kerugian negara senilai Rp 349 triliun, ternyata menjadi “dagangan” pencitraannya. Megawati kena prank. Maka, jika MMD tetap konsentrasi pada penegakan hukum, yang akan terjadi justu tebang pilih: menghabisi lawan-lawan politiknya atas nama hukum. Hal ini akan menambah misi besar perbaikan negara justru diwarnai hirup-pikuk drama. Tidak sehat bagi kehidupan bernegara.

The last but not least, sebagai sosok yang dikenal pemberani, MMD jika tetap terpanggil untuk menegakkan hukum akan menjadi bumerang bagi Ganjar itu sendiri. Dengan landasan hukum wapres tak bisa dipecat oleh presidennya, maka MMD bisa dan berpotensi untuk menancapkan perbedaan kontrasnya. Di sana kita akan saksikan ketidakakuran hubungan Ganjar-MMD. Implikasinya adalah ketidakefektifan tata-kelola kenegaraan atau pemerintahan. Karenanya, tidaklah berlebihan jika muncul analisis bahwa Indonesia ke depan di bawah Ganjar-Machfud MD justru akan semakin tenggelam. Menambah kehancuran dari episode rezim Jokowi. Jauh dari cita-cita yang notabene akan menjadikan negeri ini lebih maju dan lain-lain dengan sejuta kata indahnya.

Lalu, haruskah kita biarkan kandidat pemimpin nasional yang justru akan meredupkan cahaya Indonesia ke depan? Dalam sistem demokrasi, tentu partisipasi politik (hak untuk dipilih) bagi Ganjar-MMD haruslah dihormati, apalagi sudah mendaftar secara resmi di KPU sebagai pasangan capres-cawapres. Namun, atas nama panggilan masa depan Indonesia yang mencerahkan memang harus menghindari capres-cawapres yang secara dominan diusung PDIP itu. Satu hak demokratik yang juga harus dihormati.

Penulis: Direktur Analis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.