Mengenal Arti Angka Pada Peradaban Jawa Kuno , Membaca Masa Lewat Arah Terbalik

Sebelum dikenal sebagai angka-angka universal, bilangan di Jawa sudah menjadi bagian dari sastra candra. Sistem bilangan Jawa ini bahkan sudah mengandung bentuk kode dan cipher yang bisa dimanfaatkan untuk mengunci informasi waktu atau arah tertentu dalam naskah dan relief (lihat: Pigeaud, Java in the 14th Century, 1960).

Artinya, jauh sebelum kalkulus dan aljabar menjelma sebagai ilmu modern, para leluhur telah mempraktikkan matematika dalam bentuk yang puitis, spiritual, dan simbolik—mereka menjumlahkan makna, bukan sekadar angka.

Suwung Sebagai Sumber Filsafat Nol

Suwung, yang dipakai sebagai lambang angka nol dalam sistem sengkala, lebih dari sekadar “tidak ada”. Ia adalah benih segala sesuatu. Konsep ini beresonansi dengan śūnyatā dalam Buddhisme Mahāyāna maupun filsafat Advaita: kehampaan bukanlah nihil, tapi potensi tertinggi.

Menurut Zoetmulder, dalam Pantheïsme En Monisme In De Javaanse Soeloek-Literatuur (1935), istilah Suwung mewakili  ruang dalam batin tempat segala cipta bermula. Karena itu, tidak heran angka nol disimbolkan sebagai ilang, sirna, sunya—bukan kekosongan negatif, tapi asal-muasal eksistensi.

Penutup: Matematika Leluhur, Akar bagi Nalar Nusantara
Masyarakat Jawa tidak memisahkan angka dari rasa, bilangan dari batin, logika dari lambang. Matematika mereka adalah seni berbahasa, perenungan waktu, dan pencatatan sejarah dalam bentuk simbol puitis. Sengkala adalah pintu masuknya.

Jika Fibonacci memberi angka hidup dalam deret yang tumbuh, maka leluhur Jawa memberi angka jiwa dalam tafsir yang menyatu.

Mereka tidak sekadar menghitung hari—mereka mengukirnya di langit rasa, dan menyimpannya dalam batu.

Penulis : Prasetya, Founder Jagad Lawu Karanganyar  ( Sunyoto )

Leave A Reply

Your email address will not be published.