Mengenal Arti Angka Pada Peradaban Jawa Kuno , Membaca Masa Lewat Arah Terbalik

Angka sebagai sangkala pada peradaban Jawa kuno. Foto : Dok

KARANGANYAR, Harnasnews.com – Dalam sistem sengkala Jawa, angka bukan sekadar nilai matematis, tapi susunan lambang-lambang yang disampaikan dalam larik kata. Namun yang menarik, pembacaan angka dilakukan secara pratiloma—terbalik dari urutan pengucapan. Jika dalam bahasa tulis angka kita membaca 1903 sebagai “Seribu Sembilan Ratus Tiga”, maka dalam sengkala, susunannya bisa muncul sebagai “Geni Tawang Manembah Bathara”, yang mewakili angka 3 (Geni), 0 (Tawang), 9 (Manembah), dan 1 (Bathara)—dibaca dari kanan ke kiri menjadi 1903 Śaka (1981 M).

Pembacaan ini disebut sebagai Wlangan Sirung, yaitu sistem pembalikan sebagai simbol bahwa waktu masa lalu harus dibaca dari ujung kembali ke pangkalnya. Sejarawan Jawa, R.M. Soetjipto Wiryosuparto, menyebut bahwa sistem ini memperlihatkan pola berpikir reflektif masyarakat Jawa—“orang Jawa selalu menengok ke belakang untuk memahami apa yang akan datang” (Wiryosuparto, Babad dan Aksara, 1976).

Tiap Angka, Tiap Lambang: Kosmos Dalam Hitungan

Angka dalam sengkala bukan hanya angka. Setiap bilangan memiliki padanan lambang, benda, atau makna. Angka satu bisa dilambangkan dengan Watu, Bathara, Tunggal.  Angka dua dengan Rasa, Dwi, Rupa. Angka tiga dengan Geni, Tri, atau Telu, dan seterusnya hingga sembilan. Sementara angka nol mewakili kekosongan sakral Suwung, Iang, atau Surya.

Para empu memilih lambang ini bukan sembarangan. Mereka menyisipkannya dalam puisi, pahatan candi, bahkan arsitektur. Menurut Dr. I.G.N Bayu Sutha,  Pakar Epigrafi Nusantara, dalam tiap bait sengkala, tersembunyi urutan logika dan rasa. Hal tersebut disampaikan dalam seminar naskah kuno tahun 2012 dengan judul Makna Lambang Dan Citra Dalam Prasasti Jawa Kuna,.

Sengkala Sebagai Waktu Yang Hidup

Sengkala tidak berdiri sendiri. Ia menyatu dengan perasaan kosmis masyarakat Jawa terhadap waktu. Waktu tidak linier, tapi siklikal. Hari-hari bukan hanya tanggal, tapi weton. Tahun bukan sekadar jumlah revolusi bumi, tapi arah perubahan batin dan zaman.

Karena itu, sistem angka tidak hanya berhenti di “berapa”, tetapi juga “mengapa”. Misalnya sengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (Sirna=0, Ilang=0, Kerta=4, Bumi=1), yang merujuk pada tahun 1400 Śaka (1478 M)—simbol runtuhnya Majapahit. Kalimat itu bukan hanya penanda tahun, tapi juga tafsir zaman, seperti Epitaf untuk dunia yang ditinggalkan. Dalam artikelnya yang berjudul Peradaban Majapahit, 1995,  Prof. Uka Tjandrasasmita, mengatakan , frasa ini bukan sekadar angka, tapi kedukaan yang dibekukan dalam bahasa.

Matematika Dalam Tradisi, Bukan Sekadar Ilmu

Leave A Reply

Your email address will not be published.