Pakar Hukum: Kemenkes Berwenang Keluarkan Aturan Soal Izin Ganja Medis

Dalam kesempatan terpisah, Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional Bidang Farmasi, Mufti Djusnir, menuturkan, pemanfaatan ganja untuk pengobatan harus berdasarkan pada bukti ilmiah alias evidence base. Hal ini mengingat dampak buruk senyawa di dalam ganja yakni delta-9 tetrahydrocannabinol atau THC bagi tubuh, salah satunya menyebabkan pengapuran sel otak.

“Konsekuensinya, kalau seseorang yang kemampuan mengikat oksigen di otaknya sangat rendah, maka orang itu menjadi bodoh jadinya,” kata dia.

Studi dari para pakar terkait obat-obatan di Organisasi Kesehatan Dunia (ECDD WHO) pada 2020 menunjukkan cannabidiol (CBD) yakni senyawa dalam ganja bermanfaat untuk pengobatan epilepsi pada anak-anak.

Akan tetapi, tak semudah itu mendapatkan CBD dari tanaman ganja, dan dia mengatakan, rekayasa genetika dibutuhkan di sini.

“Kandungan ganja itu yang dominan THC. Kalau belum ada rekayasa genetika, kandungan THC mencapai 97 persen, CBD itu kandungannya 0,00 sekian (dua digit di belakang koma),” ujar dia.

Untuk pengobatan epilepsi sendiri, menurut dia, saat ini ada sekitar 10 jenis obat yang bisa dipilih pasien sehingga tak harus bergantung pada CBD.

Ia pun meminta pemerintah dan penentu kebijakan berhati-hati mengambil langkah terkait pemanfaatan ganja untuk medis.

Sebelumnya, isu mengenai pemanfaatan ganja untuk medis mengemuka seiring aksi seorang ibu yang meminta ganja medis untuk buah hatinya di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta beberapa waktu lalu. Aksi ini kemudian mendapatkan respon dan sejumlah pihak termasuk Kementerian Kesehatan dan DPR.

Kementerian Kesehatan masih mengkaji manfaat ganja untuk kepentingan medis di Indonesia. Sementara pihak Komisi III dan IX DPR berencana menindaklanjuti usulan penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.(qq)

Leave A Reply

Your email address will not be published.