Pimpinan MPR: Kepemimpinan Perempuan Indonesia Bukan Hal Baru

“Antara lain, Laksamana Malahayati, Martha Christina Tiahahu, dan Raden Ajeng Kartini,” terangnya, dilansir dari antara.

Menurutnya, distorsi tentang peran perempuan Indonesia yang didaulat hanya menangani hal-hal domestik kemungkinan terjadi pada masa kolonialisasi, dengan konsekuensi asimilasi nilai dan akulturasi budaya.

Akibatnya, tambah dia, pandangan pada kepemimpinan perempuan Indonesia dalam catatan sejarah berbeda dengan kondisi saat ini, yang memunculkan sejumlah tantangan, utamanya terkait anggapan bahwa perempuan adalah warga kelas dua.

Sehingga, dia menilai dibutuhkan inisiatif individu dan komunal untuk menyudahi tantangan pemikiran paradigma, serta tendensi dan habitus publik yang memandang perempuan sebagai warga kelas dua.

“Bagaimana kita bisa kembali pada semangat kepemimpinan perempuan warisan sejarah Nusantara agar setiap individu punya kesempatan yang sama? Perubahan itu harus dimulai dari perubahan pola pikir,” katanya.

Terakhir, Rerie lantas mengutip buku karya Valencia Ray (2013) berjudul “Leadership Beyond Gender: Transcend Limiting Mindsets to Become a More Engaging Leader”, yang menyebutkan bahwa sejatinya visi kepemimpinan untuk meningkatkan kehidupan manusia, tidak memiliki gender dan tidak terbatas. (qq)

Leave A Reply

Your email address will not be published.