
Reformasi Struktur Birokrasi Demi Pelayanan Publik yang Efektif
Berbagai perubahan pada struktur birokrasi telah dilakukan oleh Kemenpan RB, tetapi pertanyaannya kemudian bagaimana dengan kondisi yang sifatnya nonfisik tetapi turut menentukan kualitas kinerja para birokrat dalam memberi pelayanan publik, misalnya terkait integritas, kepatuhan pada kode etik, sikap jujur, transparan, dan akuntabilitas?
Kondisi-kondisi yang sifatnya nonfisik itu, jika meminjam pemikiran para strukturalis merupakan bagian dari struktur. Dengan demikian, semua itu seharusnya tidak terlepas dari sasaran reformasi birokrasi yang dilakukan Kemenpan RB guna menciptakan pemerintahan efektif dan pelayanan publik yang profesional.
Kemenpan RB memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program demi meningkatkan integritas para birokrat, yaitu memberi label Zona Integritas di instansi-instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya dinilai punya berkomitmen mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Tidak hanya itu, Kemenpan RB bersama Ombudsman dan Kantor Staf Kepresidenan mengelola aplikasi Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) sebagai kanal aduan terpusat yang saat ini terhubung dengan 34 kementerian, 96 lembaga, dan 493 pemerintah daerah di Indonesia.
Walaupun demikian, berbagai terobosan itu belum cukup karena saat ini konflik kepentingan, rangkap jabatan, dan pelanggaran kode etik tidak sulit ditemukan terjadi di instansi-instansi pemerintah.
Kasus pelanggaran etika yang cukup populer dalam beberapa minggu terakhir melibatkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar yang telah dinyatakan bersalah oleh Dewan Pengawas KPK dan diberi hukuman pemotongan gaji sebesar Rp1,8 juta selama satu tahun.
Hukuman itu dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi publik karena pemotongan gaji yang nilainya hanya sekitar satu persen dari total penerimaan Lili dari KPK. Sanksi itu juga diyakini tidak akan menjadi efek jera bagi para pelaku pelanggaran etik ke depannya.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menegaskan Lili seharusnya dipecat atau mengundurkan diri demi menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi dan itu jadi preseden baik bagi para pelanggar etika.
Namun untuk memiliki kepekaan itu — atau setidaknya budaya malu berbuat salah — bukan sesuatu yang dapat dibentuk oleh peraturan dan regulasi. Budaya malu dibentuk karena ada kebiasaan yang ditempa sejak dini serta didukung oleh lingkungan sekitar.
Jika lingkungan di institusi pemerintah mendukung tumbuh kembangnya budaya malu, maka pelanggaran etika dan hukum mungkin akan minimal. Pasalnya, ada keengganan dan kesungkanan untuk berbuat demikian. Apabila ada pelanggaran, tentu para pejabat atau birokrat yang bersalah tidak perlu sampai didesak publik untuk mengundurkan diri.
Pertanyaannya, apakah lingkungan kerja instansi pemerintah mendukung tumbuhnya budaya malu, sementara berbagai potensi adanya konflik kepentingan akibat rangkap jabatan seolah-olah jadi kondisi yang normal saat ini. Sejak periode kedua pemerintahan Presiden RI Joko Widodo, beberapa menteri merangkap jabatan sebagai pengurus dan pimpinan partai politik.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengingatkan konflik kepentingan wajib dijauhi oleh para pejabat publik, karena berpotensi menjadi celah tindak pidana korupsi. Konflik kepentingan pada pejabat publik juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Terkait itu, upaya mereformasi struktur birokrasi tentu tidak cukup dengan penyederhanaan organisasi, digitalisasi, atau pemberian predikat Zona Integritas di instansi-instansi pemerintah. Pasalnya, perubahan paling mendasar ada pada pola pikir, pemahaman, dan kebiasaan para birokrat — setidaknya untuk punya budaya malu jika terbukti berbuat kesalahan.
Namun, reformasi yang mengakar pada alam pikir, kesadaran, dan perbuatan para birokrat tidak dapat dilakukan hanya dengan jargon-jargon, slogan, dan pelatihan. Perubahan itu hanya mungkin terjadi jika antara lain ada komitmen bersama menegakkan hukum, mempraktikkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) secara lengkap dan utuh, serta adanya keteladanan pimpinan-pimpinan instansi pemerintah untuk konsisten memegang integritas sebagai pelayan publik dan pengabdi negara, dikabarkan dari antara.(qq)