Seperti Ini Pendapat Hukum LKHAI Terkait Kontraktor Yang Terdampak Pandemi Covid-19

COVID-19

Surabaya,Harnasnews.com – Kejadian luar biasa yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 telah membuat beberapa proses kegiataan yang ada Indonesia terhambat tak terkecuali kontrak kontrak pengadaan barang dan jasa kontruksi banyak para pihak yang melakukan kontrak mengingkari perjanjian dengan alasan force majeur.

Menanggapi hal ini Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia Hartadi Hendra Lesmana S.H.,M.H.,C.L.A menjelaskan bahwa “Force Majeure atau keadaan memaksa (overmacht) adalah keadaan di mana pihak yang terikat dalam sebuah perjanjian gagal menjalankan kewajibannya pada pihak lain dikarenakan kejadian yang berada di luar kuasa pihak yang bersangkutan, misalnya karena gempa bumi, tanah longsor, epidemik, pandemi, kerusuhan, perang, dan sebagainya. Istilah ini juga dikenal sebagai keadaan kahar dalam bahasa Indonesia. Dalam istilah di bahasa Prancis, force majeure secara harfiah memiliki arti “kekuatan yang lebih besar”.

Lanjut Hartadi menjelaskan bahwa, secara umum, sejumlah peristiwa dapat digolongkan kedalam force majeure selama mereka terjadi tanpa terduga, terjadi di luar kuasa pihak- pihak yang terkait, dan tidak dapat dihindari.

“Biasanya klausul force majeure hamper selalu ada di dalam setiap kontrak yang dibuat. Keberadaan force majeure ini berguna untuk mengantisipasi hal- hal yang mungkin terjadi di masa depan dan berpotensi menyebabkan konflik antar pihak yang berhubungan. Sebagai konsekuensinya, pihak debitur dapat dibebaskan dari tuntutan rugi akibat force majeure” jelas Direktur LKHAI ini.

Sementara Herlambang Ponco, Direktur Penanganan Perkara Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia pada saat pertemuan di Office LKHAI juga menjelaskan, “Ketentuan mengenai force majeure diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata dan pasal 1245 KUHPerdata. Berikut adalah kutipannya: Pasal 1244 “Jika ada alas an untuk itu, siberutang harus di hokum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga pun tak dapat di pertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” Pasal 1245 “Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya,” jelas Herlambang.

Lanjut Hartadi menambahkan, Force Majeure itu tidak dapat dijadikan alasan yang secara serta merta menjadi sebagai pembenar bagi salah satu pihak untuk memenuhi prestasinya. Bahwa segala sesuatu harus di uji kebenarannya. Menkopolhukam Republik Indonesia Tahun 2019-2014 Prof. Mahfud MD menyatakan, “Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non alam. Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional tidak dapat dijadikan dasar sebagai ‘force majeur’ untuk membatalkan kontrak.

Kontrak – kontrak tetap terikat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata’’. Pernyataan ini dapat dipahami dan dimengerti karena Force Majeure memang berbicara pada ranah terkait terhalangnya seseorang untuk dapat memenuhi prestasinya dan/ atau kewajibannya dalam perjanjian yang telah disepakati dan tidak bisa Force majeure menjadi alas an pembatalan karena pada dasarnya masalah pembatalan dan pemenuhan sebuahu prestasi adalah dua hal yang berbeda.

Dalam waktu yang bersamaan, Mohammad Syarifudin Abdillah, Sekertaris Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia ketika dimintai pendapatnya ia menambahkan “Force Majuere Pengadaan Barang dan Jasa Kontruksi juga menyimpan masalah tersendiri ditengah polemic pandemi Covid-19 ini. Perjanjian Kontrak Kerja yang dibuat dan disepakati bersama antara pengguna dan penyedia jasa selalu bersifat Obligatoir.

Dalam bahasa sederhananya, perjanjian Obligatoir adalah sebuah perjanjian yang menimbulkan sebuah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Berbicara pada bilik pengadaan barang jasa kontruksi, hak dan kewajibannya ada dan tercipta dalam perjanjian antara penyedia dan pengguna jasa.

Seperti yang sudah kita pahami bersama, usaha konstruksi dan pembangunan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Para pihak yang melakukan perjanjian tetap tunduk pada 1338, perancangan kontrak disesuaikandengan kebutuhan para pihak”.

Hal ini juga ditegaskan oleh Guntur Afrizal Rizky, Bendahara LKHAI bahwasannya, kontraktor yang biasa disebut sebagai penyedia jasa akan di bayar sesuai progress yang ada di lapangan pekerjaan proyek terkait, sedangkan jika terjadi force majeur maka kontraktor tidak dapat bekerja untuk melaksanakan kewajibannya karena pandemi Covid19 dan pengguna jasa pun tidak dapat membayarkan sebagaimana tertuang dalam kewajibannya karena pandemi dan masalah yang sama.

Bilamana terjadi ada pihak yang dilanda force majeure dapat melaksanakan perjanjian pada sarana ADDENDUM PERJANJIAN.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Indonesia Hartadi Hendra Lesmana bahwa Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia siap mengawal dan membantu terkait segala proses konsultasi dan advokasi.

Selama para pihak masih punya semangat untuk menyelesaikan kontrak pengadaan yang ada, dapat di buatkan addendum untuk menyikapi peristiwa hukum yang terjadi, force majeure tidak dapat menjadi alas an pembatalan, dan kontrak tetap harus tunduk dan patuh sesuai pasal 1338 BW dengan menjunjung tinggi asas Pacta Sunt Servanda, pungkasnya.(din)

Leave A Reply

Your email address will not be published.