

KARANGANYAR, Harnasnews com – Tahun 1549 M menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam Nusantara, khususnya di tanah Kudus, ketika sebuah bangunan suci bernama Tajug Mangkurat mulai berdiri megah di bawah bimbingan Waliyullah yang masyhur, Syech Ja’far Shadiq atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Tajug ini tidak hanya menjadi simbol keislaman yang agung, namun juga mencerminkan sintesis budaya, toleransi, dan visi kemanusiaan lintas keyakinan yang dijalin dalam suasana spiritual yang mendalam.
Pembangunan Tajug Mangkurat melibatkan lebih dari sekadar umat Islam. Di balik setiap bata dan balok kayu, ada semangat persaudaraan antara masyarakat muslim setempat dan para pemeluk agama Siwa dari daerah Rahtawu yang hidup berdampingan secara damai. Rahtawu sendiri merupakan kawasan spiritual yang hingga kini dikenal sebagai tempat pertapaan dan pemujaan dalam tradisi Hindu-Siwa Jawa. Dalam suasana pembangunan ini, masyarakat Siwa secara sukarela memberikan bantuan tenaga dan logistik demi berdirinya rumah ibadah bagi agama yang kala itu sedang berkembang pesat di pesisir utara Jawa.
Menjelang hari raya Idhul Qurban pada tahun itu, muncul sebuah dinamika teologis sekaligus sosial-budaya. Kaum bangsawan dan saudagar yang turut membiayai pembangunan tajug bersiap melaksanakan qurban dengan menyembelih sapi-sapi pilihan sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhan. Namun di tengah semarak itu, Sunan Kudus menyampaikan sebuah keputusan mengejutkan namun penuh kebijaksanaan: larangan menyembelih sapi di tanah Kudus. Keputusan ini bukan semata-mata berdasarkan ajaran agama, melainkan sebuah langkah diplomatis dan spiritual demi menjaga harmoni antar umat beragama di wilayah itu.
Dalam keyakinan masyarakat Siwa, sapi merupakan hewan yang sangat dimuliakan, bahkan dianggap sebagai manifestasi Ibu Alam atau Ibu Pertiwi yang memberi kehidupan. Menyembelih sapi di tengah keberadaan mereka bisa melukai batin, menumbuhkan luka kultural, dan memicu konflik antar komunitas. Sunan Kudus memahami ini tidak sebagai ancaman terhadap ajaran Islam, melainkan sebagai tantangan moral untuk menjadikan Islam sebagai agama yang menyinari, bukan membakar. Maka sapi digantikan dengan kerbau, binatang yang tetap sah dijadikan qurban dalam Islam, tetapi tidak menimbulkan keresahan bagi pihak lain.
Lebih jauh dari itu, Sunan Kudus bahkan memerintahkan agar daging hewan qurban dibagikan secara merata tidak hanya kepada umat Islam, tetapi juga kepada masyarakat Siwa, para pekerja bangunan, kaum miskin, anak yatim, dan semua yang berada di sekitar kawasan Tajug Mangkurat. Idhul Qurban saat itu menjadi bukan hanya perayaan keagamaan, melainkan juga perayaan kemanusiaan. Qurban tidak lagi dipahami sebagai sekadar penyembelihan hewan, tetapi sebagai pengorbanan ego, penebusan keserakahan, dan bentuk paling luhur dari solidaritas sosial.
Dalam doktrin Islam klasik, qurban berasal dari akar kata qaruba yang berarti mendekat. Maka dalam peristiwa Kudus 1549, qurban benar-benar menjadi jalan pendekatan: manusia mendekat kepada Tuhan, agama mendekat kepada budaya, dan umat mendekat satu sama lain dalam ikatan welas asih. Inilah Islam Nusantara dalam bentuknya yang paling murni dan luhur—bukan ekspansi dengan kekuatan, melainkan penyebaran dengan kasih sayang.
Tajug Mangkurat kemudian tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi menjadi simbol teologis dan antropologis dari visi Islam yang menghargai nilai-nilai lokal. Hingga kini, larangan menyembelih sapi di Kudus tetap dijunjung oleh sebagian masyarakat muslim sebagai warisan etika dakwah Sunan Kudus yang bijaksana. Sebuah etika yang menempatkan hati di atas hukum, dan rasa hormat di atas simbol-simbol lahiriah.