
Di penghujung Juli ini, publik dikejutkan oleh keputusan politis dalam ranah hukum yang diambil pemerintahan Presiden Prabowo.
Usulan pemberian abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada sejumlah narapidana politik, termasuk Hasto Kristiyanto, sebagai bagian dari “hadiah kemerdekaan” menjelang 80 tahun Indonesia merdeka, telah disetujui oleh DPR.
Langkah ini mengejutkan banyak pihak. Bukan hanya karena dua figur tersebut baru saja divonis di pengadilan tingkat pertama, namun juga karena proses hukum keduanya belum selesai dan masih berada dalam jalur banding.
Bagi sebagian kalangan yang melihat vonis pengadilan terhadap Tom dan Hasto sebagai cermin ketidakadilan dan penyimpangan dari semangat penegakan hukum, keputusan Presiden Prabowo ini dirasa sebagai obat pereda dahaga akan keadilan yang kian langka. Namun bagi sebagian lain, langkah ini menimbulkan pertanyaan serius soal arah dan etika penegakan hukum di bawah pemerintahan baru.
Hal yang patut didalami adalah: apa makna etis dan implikasi politis dari abolisi dan amnesti ini, baik secara personal maupun kelembagaan?
Secara hukum, abolisi adalah hak prerogatif presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang sedang berperkara pidana. Artinya, dalam kasus Tom Lembong, bukan hanya vonisnya dibatalkan, tapi keseluruhan proses hukumnya dianggap tidak pernah ada.
Biasanya, abolisi diberikan oleh presiden yang tidak sedang menjabat ketika kasus hukum terjadi. Dalam hal ini, keputusan Prabowo memberi abolisi atas kasus yang terjadi sebelum masa jabatannya masuk akal secara rasional.
Namun mengingat eratnya hubungan politik antara Prabowo dan Jokowi—terlebih dengan kehadiran Gibran Rakabuming sebagai Wapres—muncul pertanyaan: apakah ini pertanda koreksi atau bahkan “perpisahan” politik terhadap kebijakan hukum era sebelumnya?
Pertanyaan ini penting, karena abolisi bukan hanya keputusan hukum, tapi juga tindakan politik korektif atas sistem peradilan yang dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila benar demikian, ini sekaligus menjadi kritik terbuka terhadap Kejaksaan Agung yang membawa kasus Tom ke pengadilan. Lalu, jika presiden menilai bahwa penanganan kasus ini keliru, mengapa Jaksa Agung sebagai penanggung jawab tertinggi penuntutan masih dipertahankan?
Dari sisi etika, abolisi ini merupakan tamparan keras bagi para penegak hukum, baik jaksa maupun hakim yang memutus perkara. Apalagi abolisi ini pasti telah melewati konsultasi dengan Mahkamah Agung. Maka muncul pula pertanyaan lanjutan: apakah ini juga bentuk koreksi internal MA terhadap para hakimnya?
Dengan demikian, pemberian abolisi tidak boleh hanya dilihat sebagai euforia politik atau upaya rekonsiliasi elite. Ini harus dijadikan titik tolak evaluasi total atas wajah hukum Indonesia. Abolisi seharusnya menjadi alarm keras untuk memperbaiki sistem hukum yang rapuh, bukan sekadar alat kompromi politik. Bila tidak, keputusan ini akan disempitkan maknanya sebagai langkah “penghalusan luka” antar elite, bukan sebagai sarana koreksi atas institusi hukum yang gagal menegakkan keadilan.
Objek utama evaluasi seharusnya adalah Jaksa Agung, sebagai pihak yang menyeret Tom Lembong ke meja hijau. Bila memang penanganan kasus ini cacat secara hukum, maka keberadaan Jaksa Agung layak untuk dipertimbangkan kembali.
Berbeda halnya dengan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto. Meski tetap dianggap melakukan pelanggaran hukum, namun Hasto diampuni secara politik. Yang menarik, kasus Hasto ditangani oleh KPK, dan pemberian amnesti menunjukkan bahwa Presiden tampaknya tidak sejalan dengan tindakan KPK maupun putusan pengadilan. Sama seperti kasus Tom, amnesti diberikan di tengah proses hukum yang belum inkrah.
Dari sini kita melihat sebuah pola: intervensi eksekutif terhadap proses hukum yang masih berjalan. Hal ini membuka perdebatan panjang: sejauh mana kekuasaan politik boleh ikut campur dalam jalannya hukum?
Terlepas dari kontroversi dan berbagai sudut pandang, momen pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo ini semestinya dijadikan momentum emas untuk mengevaluasi menyeluruh sistem penegakan hukum di negeri ini.
Bukan hanya sebagai simbol politik menjelang perayaan kemerdekaan, tetapi juga sebagai upaya nyata mengembalikan ruh keadilan dan supremasi hukum.
Kemerdekaan tidak boleh hanya diperingati dengan upacara, tapi juga dirayakan dengan hadirnya kepastian hukum yang bersih dari intervensi kekuasaan.(Giga)