Amandemen Terdahulu Kebiri Hak Non-Partisan, LaNyalla: DPD Bisa Ajukan Capres Itu Rasional

“Bukan sibuk melakukan kritik kepada pemerintah atau presiden. Karena presiden hanya menjalankan konstitusi dan peraturan perundangan. Meskipun Presiden bersama DPR membentuk undang- undang. Bahkan Presiden juga bisa menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang,” katanya.

Karena melihat perkembangan arah bangsa yang sudah mulai melenceng itu lah, maka LaNyalla bersama para senator mendatangi kampus-kampus untuk menggugah kesadaran publik. DPD RI ingin memantik pemikiran kaum terdidik dan para cendekiawan agar terbangun suasana kebatinan yang sama, yaitu untuk memikirkan bagaimana Indonesia ke depan lebih baik seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia.

“Mungkin ada yang bertanya, ada apa Ketua DPD RI bicara konstitusi. Bukannya DPD RI adalah wakil daerah, yang harus fokus memperjuangkan kepentingan daerah. Justru dari situlah semua bermula,” ucap LaNyalla.

Sejak dilantik sebagai Ketua DPD RI pada Oktober 2019, LaNyalla sudah berkeliling hampir ke seluruh provinsi untuk melihat dan mendengar secara langsung aspirasi dan permasalahan yang dihadapi daerah dan stakeholder yang ada di daerah. Dari hasil menyerap aspirasi itu, Ketua DPD RI menemukan satu kesimpulan, mengapa hampir semua permasalahan di daerah sama.

“Mulai dari persoalan sumber daya alam daerah yang terkuras, hingga kemiskinan dan indeks kemandirian fiskal daerah yang jauh dari kata mandiri. Setelah saya petakan, ternyata akar persoalannya ada di hulu. Bukan di hilir. Akar persoalan yang ada di hulu adalah ketidakadilan sosial,” urainya.

Ditambahkan LaNyalla, keadilan sosial sendiri merupakan tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, seperti dicita-citakan para pendiri bangsa dan menjadi sila pamungkas dari Pancasila. Persoalan ketidakadilan sosial disebut terjadi karena adanya kekuatan modal dan kapital dari segelintir orang untuk mengontrol dan menguasai kekuasaan.

“Mengapa ini bisa terjadi? Karena memang di dalam konstitusi dan undang-undang turunannya dibuka peluang untuk terjadinya dominasi segelintir orang untuk menguasai dan menguras kekayaan negara ini,” tutur LaNyalla.

Dengan berdiskusi dengan para cendekiawan, DPD RI punya harapan tersendiri. LaNyalla mengungkap alasan tersebut yakni agar muncul kesadaran para pejabat pemegang amanah untuk mengingat sumpah jabatannya dan kemudian duduk bersama untuk merumuskan perbaikan negeri ini ke depan.

“Dan bila rakyat, khususnya kaum terdidik di kampus sungguh-sungguh menghendakinya, maka DPD RI siap menjadi wadah yang menampung dan menyalurkan aspirasi tersebut. Karena negeri ini dilahirkan oleh para founding fathers melalui kelompok dan perkumpulan civil society,” katanya.

Perkumpulan civil society itu diawali dengan lahirnya Budi Utomo, pada 20 Mei 1908. Lalu berlanjut lahirnya Kongres Pemuda, pada 28 Oktober 1928, yang digagas Perhimpunan Pelajar dan Perkumpulan Pemuda Indonesia.

“Mereka semua adalah elemen civil society. Bukan partai politik,” tegas LaNyalla.

Para pembicara antara lain Prof Kacung Marijan (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga), Prof Badri Munir Sukoco (Direktur Sekolah Pascasarjana Unair) dan Dr Rahadian Salman (Koordinator Prodi Magister Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Unair).

Senator yang mendampingi Ketua DPD Sylviana Murni (Ketua Komite III DPD), Bustami Zainudin ( Wakil Ketua Komite II), Eni Sumarni (senator Jawa Barat) dan Adilla Azis (senator Jatim).

Hadir juga Wadir 1 Sekolah Pascasarjana Unair Dr. Rudi Purwono, S.E., M.SE, Wadir 2 Prof. Dr. Rr. Sri Pantja Madyawati, drh., M.Si
dan Wadir 3 Dr. H. Suparto Wijoyo, S.H. M.Hum
(red)

Leave A Reply

Your email address will not be published.