Dugaan Korupsi Perpanjangan Konsesi Tol Dalam Kota Jakarta oleh PT CMNP

Oleh: Iskandar Sitorus

Penulis: Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Ketika masyarakat menaruh harapan besar kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi pengelolaan aset negara strategis, ironi justru terungkap di jantung Ibu Kota dari hasil kinerja Auditor Keuangan Negara.

Jalan tol ruas Cawang–Tanjung Priok–Ancol Timur–Jembatan Tiga/Pluit, yang masa konsesinya di tata kelola oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) seharusnya berakhir pada 31 Maret 2025, namun anehnya justru diperpanjang 35 tahun hingga 31 Maret 2060, tanpa ada evaluasi, tanpa lelang, sehingga diduga bertentangan terhadap hukum.

Langgar PP No. 23/2024 dan UU Jalan

Perpanjangan konsesi tersebut dituangkan dalam akta Notaris Rina Utami Djauhari, S.H., No. 06 tertanggal 23 Juni 2020, yang ditandatangani oleh Menteri PUPR dan PT CMNP. Itu dilakukan 4 tahun sebelum jatuh tempo, padahal menurut pasal 78 ayat (3) PP No. 23/2024, evaluasi baru bisa dilakukan paling cepat 1 tahun sebelum konsesi berakhir, yakni Maret 2024.

Seharusnya itu paling cepat dilakukan 1 tahun sebelum berakhir, bukan malah lebih cepat yakni 4 tahun sebelum jatuh tempo.

Lebih parah lagi, pasal 78 ayat (2) PP tersebut mewajibkan pengembalian jalan tol kepada negara setelah berakhirnya masa konsesi. Bukan langsung diteruskan pengelola sebelumnya.

Maka, keputusan perpanjangan sejak dini oleh pemerintah bukan hanya cacat hukum, tetapi juga berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.

Temuan audit BPK, pola pelanggaran sistemik PT CMNP

Berdasarkan audit selama 20 tahun terakhir, BPK RI secara konsisten menemukan pelanggaran serius yang dilakukan oleh PT CMNP, antara lain:

1. Perpanjangan tersebut prematur dan merugikan negara, terlihat dari temuan LHP BPK tahun 2020. Karena, evaluasi seharusnya dilakukan pada 2024, namun malah diperpanjang tahun 2020, melanggar ketentuan PP. Potensi kerugian negara dari tidak dilakukannya lelang ulang atau pengelolaan BUMN adalah dikisaran Rp15–20 triliun.

2. Manipulasi biaya dan laporan keuangan sesuai LHP BPK tahun 2015 yaitu:
– Rp1,2 triliun biaya pemeliharaan jalan tol dibebankan ke APBN, padahal menjadi kewajiban operator (CMNP).
– Dual accounting pendapatan tol untuk mengurangi setoran ke negara.

3. Pembayaran kontribusi negara tidak patut terlihat di LHP BPK 2018 yakni:
– CMNP hanya menyetor 1,5% dari pendapatan kotor, padahal rata-rata industri 3–5%.
– Tunggakan denda keterlambatan setoran mencapai Rp320 miliar tidak ditagih oleh BPJT.

4. Konflik kepentingan dan afiliasi disajikan LHP BPK tahun 2012:
– Direktur CMNP adalah mantan pejabat BPJT, membuka potensi kolusi dalam penetapan tarif dan konsesi.
– Kontrak proyek diberikan ke anak usaha afiliasi tanpa tender.

Rekomendasi BPK yang diabaikan

Pemangku kepentingan terlihat tidak hirau akan pendapat BPK yaitu harus:

1. Batalkan perpanjangan konsesi karena tidak melalui evaluasi dan tidak memenuhi prinsip value for money.

2. Tagih seluruh tunggakan denda dan kekurangan kontribusi negara.

3. Audit investigatif lanjutan oleh KPK atau Kejagung atas dugaan mark-up dan manipulasi pelaporan.

Analisis yuridis, pelanggaran multilevel

1. UU No. 38/2004 tentang Jalan mewajibkan pengembalian jalan tol ke negara setelah konsesi berakhir sesuai pasal 56.
2. PP No. 15/2005 dan PP No. 23/2024 mewajibkan evaluasi menyeluruh sebelum perpanjangan.
3. UU Tipikor pada pasal 2 dan 3 memuat bahwa perpanjangan prematur yang merugikan negara bisa masuk kategori korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan suap.

Desakan IAW ideal dicabut konsesi dan usut dugaan korupsi

Atas dasar semua itu, Indonesian Audit Watch meminta:

1. Kejaksaan Agung untuk segera memeriksa dugaan korupsi, suap, dan kolusi dalam perpanjangan konsesi yang telah dilakukan tersebut. Selidiki penyalahgunaan APBN untuk biaya pemeliharaan oleh PT CMNP.

2. Presiden Prabowo Subianto idealnya sesegera memerintahkan pembatalan perpanjangan konsesi berdasarkan akta No. 06/2020. Menginstruksikan pengambilalihan oleh BUMN atau proses lelang ulang secara transparan.

3. Kementerian BUMN dan BPJT harus menagih tunggakan dan kontribusi negara yang selama ini diabaikan. Serta publikasikan laporan evaluasi dan semua dokumen perpanjangan kepada publik.

Kesimpulan: tol adalah aset negara, bukan milik elite

Jika tidak ditindak, kasus CMNP akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan infrastruktur Indonesia.

Ini bukan sekadar soal tol, tapi soal daulat negara atas aset strategis. Pemerintahan baru tidak boleh membiarkan warisan bobrok masa lalu berlanjut hingga 2060.

Leave A Reply

Your email address will not be published.