
Hilangnya Desa Seuneubok Alue Tingkeum, LBH ANKARA Ancam Tempuh Jalur Hukum
ACEH UTARA. Harnasnews — Polemik status administratif Desa Seuneubok Alue Tingkeum, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, kian meruncing. Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Nusantara Untuk Keadilan Rakyat (LBH-ANKARA) secara resmi mendesak Bupati Aceh Utara, H. Ismail A. Jalil, SE alias Ayah Wa, untuk segera mengembalikan legalitas desa tersebut sebagai desa definitif.
Tak hanya itu, agenda pertemuan warga dengan Camat Lhoksukon, Fatwa Maulana, yang seyogianya digelar di kantor kecamatan pada Kamis sore, justru berakhir ricuh. Warga merasa dilecehkan setelah sang camat tak kunjung hadir, meski telah diundang secara resmi.
Ketua LBH ANKARA Kabupaten Aceh Utara, Muhammad Azhar, menegaskan bahwa pihaknya telah mengantongi cukup bukti bahwa Desa Seuneubok Alue Tingkeum dihapus dari sistem administrasi pemerintahan secara sepihak, tanpa adanya Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar hukum, ini disebut Maladministrasi!
“Kalau benar penghapusan itu dilakukan tanpa Perda, maka ini adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,” tegas Azhar dalam siaran pers yang diterima media ini.
Azhar menyebut, penghilangan identitas desa tersebut diduga terjadi pasca-perdamaian Aceh tahun 2005. Akibatnya, sekitar 130 Kepala Keluarga (KK) kini terkatung-katung tanpa kejelasan administratif. Warga kesulitan mengurus KTP, KK, akta kelahiran, serta tidak bisa mengakses bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur desa.
Ironisnya, saat warga mencoba menindaklanjuti masalah ini dengan menghadiri undangan Camat Lhoksukon, Kamis (31/07/2025) sore. Mereka justru merasa dipermainkan. Undangan dijadwalkan pukul 15.00 WIB, namun hingga pukul 17.00 WIB sang camat tak kunjung hadir. Sehingga warga merasa ditinggal pergi oleh camat, pertemuan yang sudah dijanjikan oleh camat pun gagal, dan memicu amarah warga.
“Kami merasa dipermainkan. Dari dulu sampai sekarang, urusan ini selalu digantung tanpa kejelasan,” ujar Geuchik Alue Tingkeum, Sulaiman, kepada wartawan.
Menurutnya, ketidakhadiran camat memperparah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah kecamatan. “Dulu kami kehilangan status desa karena camat tidak bertanggung jawab, sekarang malah makin dipermainkan,” tegasnya.
Camat Lhoksukon: “Saya Masih di Lapang”
Ketika dikonfirmasi wartawan, Camat Lhoksukon Fatwa Maulana membenarkan adanya agenda pertemuan tersebut. Ia mengaku tengah menghadiri kegiatan lain di Kecamatan Lapang bersama Walid setempat.
“Saya minta warga hadir jam 16.00 WIB. Tapi saya belum bisa tinggalkan agenda ini. Saya tetap akan bertemu mereka,” ujar Fatwa via sambungan telepon sekitar pukul 17.49 WIB.
Namun, menurut pengakuan warga, mereka telah menunggu sejak pukul 15.00 WIB dan meninggalkan kantor camat karena merasa diabaikan hingga memasuki waktu Maghrib.
Disisi lain LBH ANKARA, juga menyatakan kesiapannya untuk menempuh jalur hukum jika tidak ada klarifikasi resmi dari pemerintah Kabupaten Aceh Utara.
Pihaknya menuntut penjelasan dasar hukum penghapusan Desa Seuneubok Alue Tingkeum kemudian pemulihan status desa jika tidak ditemukan Perda sah, dan penghentian segala bentuk kebijakan sepihak dan inkonstitusional.
“Ini bukan sekadar soal administratif, tapi soal hak konstitusional warga negara. Jika tidak ada respons, kami akan lanjutkan ke ranah hukum, termasuk menggugat ke pengadilan,” pungkas Azhar.
Dari hasil penelusuran media ini, tidak adanya dokumen resmi mengenai penghapusan desa ini memperkuat dugaan adanya malpraktik birokrasi. Penghapusan sebuah desa tanpa Perda merupakan pelanggaran tata kelola pemerintahan.
Lebih jauh, kasus ini membuka kembali borok lama tentang lemahnya pendataan wilayah pascakonflik Aceh. Jika dibiarkan, nasib 130 KK bisa terus tersandera di wilayah abu-abu yang tak tercatat dalam sistem negara, meskipun mereka adalah warga Indonesia dengan bukti sah.
Bagaimana tidak, skandal ini bukan hanya cerminan amburadulnya birokrasi, namun juga ancaman nyata terhadap hak dasar masyarakat. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara harus segera bertindak. Jika tidak, tekanan publik dan gugatan hukum kemungkinan akan menjadi jalan panjang menuju keadilan. (Zulmalik)