
Yusrizki juga menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya transisi dalam upaya mencapai nol emisi karbon mengingat penyediaan listrik dari energi fosil masih diperlukan dengan pertimbangan keamanan dan reabilitas.
“Akan tetapi jika kita memiliki formula harga yang terhubung dengan tingkat emisi, terutama dalam siklus perencanaan ketenagalistrikan, otomatis harga tersebut tidak hanya merefleksikan kepentingan pasokan listrik tetapi juga tingkat emisi,” tambah dia.
Ia mencontohkan apabila Indonesia masih membutuhkan PLTU batubara untuk alasan stabilitas sistem, maka bisa saja PLN tetap menjalankan PLTU batubara, tetapi harga listrik dari PLTU batubara tersebut disesuaikan dengan tingkat emisi yang dihasilkan.
“Saat ini harga jual listrik EBT selalu dibandingkan dengan BPP nasional atau setempat, yang kita sudah pahami bahwa BPP banyak dibentuk oleh pembangkit listrik tenaga fosil tanpa memperhitungkan emisi gas buang. Maka sampai hari ini konteks perencanaan dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan masih berpatokan kepada satu faktor yaitu harga. Emisi sama sekali belum diperhitungkan sebagai faktor dalam perencanaan,” katanya.
Yusrizki menegaskan bahwa belum terwakilinya emisi dalam siklus perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan membuat perlunya revolusi sektor ketenagalistrikan untuk mendukung agenda transisi energi Indonesia.(qq)