JAKARTA, Harnasnews – Penurunan minat masyarakat terhadap program vaksinasi COVID-19 di Tanah Air yang terjadi sejak 3 Mei 2022 hingga sekarang, telah menyita perhatian pemerintah seiring tren peningkatan kasus subvarian Omicron BA.4 dan BA.5.

Dilansir dari laporan terakhir situasi harian COVID-19 per 21 Juli 2022, cakupan vaksinasi yang cukup tinggi tahun ini berlangsung pada pekan pertama Januari mencapai 1,8 juta lebih jiwa lebih hingga 26 April 2022 berkisar 1 juta jiwa lebih.

Mulai 3 Mei 2022, cakupannya menurun ke kisaran angka rata-rata 200 ribuan orang dalam sepekan. Situasi itu terjadi beriringan dengan kebijakan pemerintah melonggarkan pemakaian masker di ruang terbuka sebab situasi pandemi diklaim terkendali.

Alasan pandemi terkendali menyusul indikator transmisi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maksimal 7.800 kasus per hari di Indonesia. Sementara laju penularan per hari rata-rata berkisar 4.000 hingga 5.000 kasus.

Bahkan, total peserta vaksinasi pada 21 Juli 2022 hingga pukul 18.00 WIB berada pada angka terendah sepanjang tahun ini, berkisar 102.971 peserta.

Fluktuasi laju kasus COVID-19 memang menuntut upaya keras pemerintah untuk kembali mendongkrak kepesertaan masyarakat dalam program vaksinasi, terlebih dominasi subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 kini bersarang di 81 persen lebih pasien terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia.

Dilansir dari Dashboard Vaksinasi COVID-19 per 23 Juli 2022, cakupan dosis penguat atau booster di Indonesia masih menyisakan 153 juta jiwa lebih masyarakat sasaran, dosis dua menyisakan 40 juta jiwa lebih dan dosis pertama menyisakan 6 juta jiwa lebih.

Dengan laju suntikan saat ini, Kementerian Kesehatan memperkirakan butuh tambahan waktu selama 489 hari untuk mencapai target sasaran 208 juta jiwa peserta vaksinasi.

Perkiraan waktu itu belum termasuk populasi di luar target sasaran, seperti anak di bawah usia 6 tahun atau booster untuk usia 6-17 tahun, sebab angka pembaginya bukan total penduduk Indonesia yang lebih dari 270 juta jiwa.

Pasangan Siti Maemunah (71) dan Katim Amiruddin (81), warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mewakili alasan umum masyarakat yang enggan mengakses vaksin di saat kasus COVID-19 terkendali.

Mereka berkeyakinan meski belum menerima satu pun dosis vaksin, imunitasnya telah terbentuk secara alami sejak terjangkit varian Delta pada Juli 2021.

Apalagi situasi pandemi yang mulai terkendali serta risiko kesakitan yang ringan dari varian Omicron, diyakini mereka bisa hidup sehat tanpa vaksinasi, selama protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-hari dipraktikkan secara optimal.

Pernyataan serupa dikemukakan warga Rawalumbu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Naning Nuraisyah (64). Ia beranggapan COVID-19 sudah serupa influenza biasa, sehingga cukup dengan vitamin atau obat warung, bisa mencegah keparahan penyakit.

Tapi ada risiko yang harus mereka terima, berupa keterbatasan akses menuju berbagai ruang publik yang mensyaratkan skrining digital Aplikasi PeduliLindungi, seperti transportasi umum maupun pusat perbelanjaan.

Vaksinasi penting

Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) menyorot cakupan vaksinasi dosis penguat yang baru mencapai 25 persen dari target sasaran. Alasannya, daya tahan perlindungan vaksin untuk mencegah keparahan saat terinfeksi COVID-19 hanya berlangsung rata-rata enam bulan sejak suntikan dosis lengkap primer.

Virus corona bertahan hidup dengan cara berkembang biak pada inang dalam tubuh manusia, terutama pada masyarakat dengan tingkat imunitas tubuh yang lemah. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin besar populasi virus di tengah masyarakat.

Vaksin COVID-19 tidak berumur langgeng sebab izin edar darurat yang memangkas masa penelitian vaksin dari umumnya mencapai sepuluh tahun, menjadi rata-rata satu hingga dua tahun.