LPKAN: Ada beberapa pasal RKUHP mengancam azas Demokrasi, dan menganggu ranah pribadi

Wibi juga meniai bahwa ada pasal karet, dan sangat subjektif. Sehinga tafsirnya akan sangat tergantung kehendak kekuasaan. Ketika ditanya soal apa solusinya? Dengan tegas dia meminta agar pasal tersebut dihapus atau dibuat norma pasal yang lebih limitatif.

Wibisono menambahkan tujuan aktivasi norma yang tidak limitatif, yang obscuur dan lentur. Agar bisa menjadi alat represi, alat gebuk untuk membungkam lawan politik.

“Jadi, problemnya bukan karena rakyat atau yang mengkritik tidak menyampaikan solusi. Tapi karena pemerintah dan DPR memang sudah pasang muka badak dan tebal kuping, tak mau mendengar kritikan rakyat, ini pasal berbau neokolonialisme,” tegas Wibi.

Sementara itu ada juga pasal tentang tindak pidana perzinaan (kumpul kebo) bisa diusut jika ada aduan dari pihak yang dirugikan seperti suami/istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua/anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II,” demikian bunyi Pasal 411 ayat (1) RKUHP.

“Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai, ini jelas pasal karet yang akan menimbulkan polemik di masyarakat, sedangkan pasangan sesama jenis (LGBT) tidak diatur dalam RKUHP, kenapa ga sekalian pake hukum syariah islam seperti di Aceh?,” tanya Wibi

Kendati demikian, pihaknya mendukung upaya pemerintah untuk membuat RKUHP lebih baik dari KUHP sebelumnya, meski tidak akan bisa memuaskan semua masyarakat. Terlebih,  di era globalisasi ini Undang Undang harus mempertimbangkan HAM dan kebutuhan publik secara global.

“Kita hidup tidak berdiri disatu golongan tapi hidup diantara bermacam etnis dan budaya yang majemuk (multi kultural),” pungkas Wibisono.

Leave A Reply

Your email address will not be published.