

KARANGANYAR, Harnasnews.com – Desa Loireng, terletak di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, menempati wilayah penting dalam dinamika sosial-historis pantai utara Jawa (Pantura). Meskipun hari ini ia terlihat sebagai desa pinggiran yang dilalui Jalan Raya Semarang–Demak, posisinya pada kilometer ke-13 menunjukkan bahwa sejak awal, kawasan ini merupakan simpul mobilitas ekonomi dan kultural, terutama sejak era ekspansi Kesultanan Demak Bintoro pada awal abad ke-16 M. Di balik nama “Loireng” yang berasal dari jenis pohon lo (Ficus glomerata) yang tumbuh di kawasan tersebut—yakni sejenis ara liar dengan buah berwarna kehitaman (ireng dalam bahasa Jawa)—terkandung narasi sejarah yang kompleks dan terpinggirkan dalam historiografi utama Indonesia, khususnya menyangkut peran perempuan dalam penyebaran Islam dan peralihan politik pasca-Majapahit.
Fokus penting dalam narasi lokal Desa Loireng ialah sosok Raden Ayu Endang Retno Wulan Larasati, seorang perempuan bangsawan yang dipercaya sebagai salah satu selir dari Sultan Demak pertama, Raden Patah. Legenda lisan yang konsisten di kalangan masyarakat setempat—diperkuat oleh analisis makam-makam kuno—menyatakan bahwa Raden Ayu Larasati bukan sekadar tokoh periferal, melainkan figur sentral dalam transisi keagamaan dan politik lokal. Ia diyakini lahir di wilayah Kadipaten Tuban sekitar tahun 1460 M, dan kemudian menjadi bagian dari jaringan istana Demak pada masa awal pembentukan kekuasaan Islam di Jawa Tengah bagian utara.
Tuban, sebagai pelabuhan utama dan pusat dakwah Wali Sanga seperti Sunan Bonang, merupakan simpul penting dalam jaringan Islamisasi Nusantara abad ke-15–16 M. Sejumlah karya telah menyoroti posisi strategis Tuban dalam konteks ini, seperti penelitian Hasan Muarif Ambary yang menyebutkan bahwa “Tuban adalah daerah pertama yang menerima Islam secara institusional di bawah otoritas lokal, berkat kedekatannya dengan jaringan wali”[^1]. Dalam struktur sosial-politik inilah Raden Ayu Larasati lahir, tumbuh, dan mendapat pendidikan keagamaan yang relatif maju untuk perempuan bangsawan masa itu.
Perkawinan antara Raden Ayu Larasati dengan Sultan Raden Patah sekitar tahun 1510 M tidak hanya dapat dipahami sebagai relasi personal, tetapi juga sebagai bagian dari politik pernikahan dalam tradisi aristokratik Jawa. Seperti diungkapkan oleh Merle Ricklefs, perkawinan semacam ini adalah bentuk aliansi politik untuk memperkuat legitimasi dinasti baru dengan wilayah-wilayah pesisir yang telah lebih dahulu mengalami Islamisasi[^2]. Selama sekitar satu dekade, Raden Ayu Larasati dipercaya memiliki pengaruh dalam lingkaran dalam istana, terutama terkait praktik-praktik spiritual dan penataan pendidikan keagamaan untuk kalangan perempuan.
Namun, menjelang tahun 1518 M, catatan lisan menyebutkan bahwa Raden Ayu Larasati menarik diri dari kehidupan keraton dan memilih untuk menetap di wilayah sunyi yang dikenal dengan nama Sendang Melati—sebuah sumber air yang dianggap suci dan menjadi tempat pertapaan serta pengobatan tradisional. Fenomena pengunduran diri tokoh bangsawan dari kehidupan istana menuju kehidupan spiritual di wilayah pedalaman ini bukan hal asing dalam tradisi Jawa. Tokoh-tokoh seperti Dewi Kilisuci (putri Airlangga) atau Ratu Kalinyamat juga melakukan transisi serupa, mencerminkan bentuk spiritualisasi kekuasaan di luar mekanisme politik patriarkal[^3].
Sendang Melati, yang kelak berkembang menjadi Desa Loireng, menjadi pusat aktivitas spiritual dan pengajaran keagamaan yang dipimpin oleh Raden Ayu Larasati. Di sinilah ia diyakini membentuk komunitas perempuan dan agraris yang menggabungkan tradisi Islam, pengobatan herbal, serta laku tapa brata (askesis) dalam ajaran kejawen Islam awal. Situs makam beliau kini berada di sisi barat desa, diapit oleh pemukiman modern dan lahan pertanian. Berdasarkan studi epigrafis oleh Dr. Sunarto Arif Wibowo dari Universitas Negeri Semarang, bentuk nisan di makam tersebut menyerupai ciri khas pemakaman Islam awal abad ke-16: batu andesit polos, orientasi barat-timur, dan tanpa ornamen Hindu-Buddha[^4].
Dalam presentasinya di Seminar Sejarah Islam Lokal Jawa (UNNES, 2018), Dr. Sunarto menyatakan bahwa “Loireng bukan sekadar titik geografis, tetapi simpul memori spiritual dalam peta besar Islamisasi Jawa yang belum mendapat tempat dalam sejarah besar.” Ia menekankan bahwa penelusuran arsitektur makam dan ekologi spiritual wilayah Loireng mencerminkan adanya pergeseran identitas dari aristokrasi ke dalam bentuk-bentuk keagamaan yang lebih egaliter dan terdesentralisasi.
Sementara itu, Arya Pandita, filolog dan peneliti toponimi dari Lembaga Studi Nusantara Kuno (LSNK), menekankan pentingnya makna nama Sendang Melati dalam konteks spiritualitas Jawa. Dalam artikelnya “Toponimi dan Transmisi Spiritualitas Keraton ke Pedalaman”, ia menjelaskan bahwa sendang merupakan metafora liminal antara dunia materi dan dunia roh. Kedatangan Raden Ayu Larasati ke tempat ini bukan hanya eksil dari politik, tetapi reposisi identitas dari garwa ampil (selir keraton) menjadi resi wanita atau pemimpin komunitas spiritual[^5].
Transformasi wilayah dari Sendang Melati ke Loireng juga dapat dibaca sebagai peralihan fungsional dan sosial desa: dari pusat spiritual ke jalur ekonomi modern di Pantura. Namun, jejak spiritual tersebut tetap menjadi fondasi simbolik desa hingga kini. Narasi tentang Raden Ayu Larasati disampaikan dari generasi ke generasi, sekaligus menjadi simbol bahwa peran perempuan dalam sejarah Islam lokal tidaklah bersifat pasif, melainkan aktif dalam mengonstruksi ruang, nilai, dan pengetahuan.
Penulisan ulang sejarah Desa Loireng dengan pendekatan lokal dan gender menjadi signifikan dalam upaya dekolonisasi historiografi Indonesia, yang selama ini didominasi oleh figur laki-laki, kerajaan pusat, dan dokumen birokratis. Kisah Raden Ayu Endang Retno Wulan Larasati membuka ruang bagi pembacaan baru sejarah Islam Jawa yang memperhatikan suara perempuan, spiritualitas lokal, dan jejaring marjinal yang selama ini luput dari narasi arus utama.
—
Catatan Kaki
[^1]: Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 112.
[^2]: M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Stanford: Stanford University Press, 2001, hlm. 35–36.
[^3]: Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid II: Jaringan Asia, Jakarta: Gramedia, 2000, hlm. 202–204.
[^4]: Sunarto Arif Wibowo, “Makam Awal Islam di Pantura: Kajian Epigrafi dan Arsitektur Religius,” Makalah Seminar Sejarah Islam Lokal Jawa, UNNES, 2018.
[^5]: Arya Pandita, “Toponimi dan Transmisi Spiritualitas Keraton ke Pedalaman,” Jurnal Filologi Nusantara, Vol. 3, No. 1 (2020), hlm. 45–58.
Kecendekiaan Raden Ayu Larasati dan Upaya Penyelamatan Ekonomi Lokal: Studi Historis-Empiris atas Peran Perempuan dalam Krisis Abad ke-16 di Pesisir Jawa
Raden Ayu Endang Retno Wulan Larasati bukan hanya dikenal sebagai tokoh spiritual dan pemimpin komunitas perempuan pasca-istana, tetapi juga sebagai figur perempuan intelektual yang menguasai prinsip-prinsip dasar ekonomi agraria, strategi politik lokal, dan manajemen sumber daya alam. Berdasarkan narasi historis dan kajian arkeo-ekonomi lokal, beliau diyakini pernah menempuh pendidikan tidak hanya keagamaan tetapi juga kenegaraan dan ekonomi di lingkungan Kadipaten Tuban yang saat itu merupakan pusat perdagangan dan pelayaran utama di pesisir utara Jawa.
Sebagai anak dari keluarga bangsawan pelabuhan Tuban yang terhubung erat dengan jaringan dagang ke Gresik, Demak, dan Malaka, Raden Ayu Larasati mendapatkan akses terhadap pendidikan administrasi dagang, tata buku niaga, dan pengelolaan sumber pangan. Dalam kajiannya yang komprehensif, Prof. Ingrid van Oosterom (Universiteit Leiden) menyebutkan bahwa “banyak perempuan kelas elite pelabuhan abad ke-15 dan 16 menerima pendidikan di bidang ekonomi rumah tangga luas (extended household economy) yang melibatkan pengelolaan lahan, pekerja tani, dan modal perniagaan”[^7].
Kemampuan ini menjadi kunci ketika sekitar tahun 1520–1525 M, wilayah selatan Loireng yang kini dikenal sebagai Wonosekar mengalami krisis pangan akibat kombinasi bencana alam dan pergeseran kekuasaan politik. Dalam makalahnya yang diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Prof. van Oosterom menuliskan bahwa “salah satu wilayah yang paling terdampak dalam transisi kekuasaan dari Majapahit ke Demak adalah dataran irigasi Tuntang-Wonosekar, yang mengalami stagnasi suplai logistik dan hilangnya pasar tetap”[^8].
Dalam krisis ini, Raden Ayu Larasati mengorganisasi sistem distribusi benih dengan pendekatan mutualistik—yang oleh Van Oosterom disebut sebagai proto-cooperative agrarian model—di mana benih varietas tahan banjir dibagikan secara bergilir ke rumah tangga tani miskin dengan timbal balik berupa kontribusi kerja pada proyek pembangunan tanggul dan sistem drainase lokal.