MH dan RK Bebas Dari Jeratan Hukum

SUMBAWA,Harnasnews.com –  Dua orang pria berinisial Mh dan Rk, akhirnya terbebas dari jeratan hukum. Kasus yang menimpa kedua tersangka ini dinyatakan selesai, setelah Kejaksaan Negeri Sumbawa menerapkan restorative justice atas kasus tersebut. 

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumbawa, Dr. Adung Sutranggono, SH., MH dalam jumpa persnya, Jumat (2/7) sore, membenarkan penerapan restorative justice (RJ) itu. Diungkapkan, kasus ini terjadi setelah keduanya dilaporkan oleh seorang warga berinisial Rl ke polisi. Dimana Mh dilaporkan melakukan dugaan pengancaman. Sementara Rk dilaporkan dengan dugaan penghinaan.

Kasus tersebut terjadi di Desa Labuhan Sangoro, Kecamatan Maronge, 28 Juli 2020 lalu. Berawal saat Mh mendatangi rumah kepala desa yang menjabat saat itu, H. Firmansyah. Mh berhenti, karena melihat H. Firmansyah duduk di bale-bale depan rumahnya. Saat itu, H. Firmansyah bercerita kepada Mh bahwa dia hampir ditabrak oleh Rl.

Mendengar hal itu, Mh langsung meninggalkan lokasi dan menuju rumah Rl. Di tengah jalan, Mh bertemu dengan Rk. Kemudian Mh menceritakan perihal yang dialami oleh H. Firmansyah kepada Rk. Akhirnya, mereka berdua langsung menuju rumah Rl. Kebetulan, keduanya merupakan pendukung dari H. Firmansyah. Sementara Rl merupakan pendukung dari calon kades lainnya.

Ketika keduanya tiba di depan rumah Rl, dugaan pengancaman dan penghinaan ini terjadi. Dimana Mh mengancam akan menganiaya dan membunuh Rl. Sementara Rk diduga menghina Rl dengan kata-kata yang tidak pantas. Atas dasar itu, korban melapor ke polisi.

Sebelumnya, kasus ini sudah pernah dimediasi oleh pihak kepolisian. Namun, upaya itu tidak berhasil. Karena berkas perkara kasusnya sudah dinyatakan lengkap, dilakulan pelimpahan ke Kejari Sumbawa.

Setelah itu, upaya perdamaian kembali dilakukan. Akhirnya, tercapailah kesepakatan damai antara para pihak yang berperkara. Kesepakatan damai ini akhirnya tercapai pada Jumat 18 Juni lalu. Setelah kesepakatan damai ini tercapai, barulah sistem RJ ini diterapkan.

Menurut Kajari, sebelum RJ ini diterapkan, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh tersangka. Seperti tersangka baru pertama kali melakukan tindakan pidana. Kemudian, tindak pidana yang dilakukan ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun. Tidak pidana yang dilakukan tersangka tidak menimbulkan kerugian nilai barang tertentu. Semua persyaratan ini, dinilai sudah dipenuhi oleh kedua tersangka.

Sebelum penghentian perkara melalui sistem RJ ini, lanjut kajari, pihaknya melakukan ekspose terlebih dahulu. Sehingga mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum), guna dilakukan penghentian penuntutan.

“Penerapan restorative justice ini sudah mendapatkan persetujuan dari JAM Pidum,” ujar kajari.

Diharapakan, penanganan perkara dengan penerapan sistem RJ ini, dapat mengubah stigma negatif atau pola pikir dalam masyarakat. Dimana penegakan hukum tidak harus diselesaikan melalui peradilan. Tapi, untuk penanganan tindak pidana ringan, dapat mengedepankan perdamaian. Dengan landasan pemulihan keadaan pada kondisi semula, keadilan dan aspek kemanusiaan.(Herman)

Leave A Reply

Your email address will not be published.