Panorama Harun Masiku

Jika skenario ini berhasil, maka meski Jokowi gagal memperpanjang masa jabatannya, atau tak bisa ikut pemilu lagi untuk periode ketiga tapi keberhasilan memaksakan sosok pengganti itu sudah cukup mengamankan kepentingan diri dan keluarganya. Dan secara politik, kepentingan keluarganya akan terefleksi pada lancarnya proses politik Gibran menuju DKI-1. Juga, Megaproyek IKN akan terjamin. Hal ini di sisi lain sudah cukup memuaskan libido kapitalistik para oligarkis itu.

Sebuah renungan, apakah Megawati akan tunduk dengan skenario itu? Harus kita garis-bawahi, Megawati tipe fighter politik sejati. Dengan karakternya sebagai perempuan, dia lebih mengedepankan emosionalitas dibanding kalkulasi rasionalitasnya. Emosionalitasnya itulah yang akan mendorong libido politiknya malah semakin garang.

Meski Menkumham ini secara struktural pembantu Presiden dan harus tunduk pada Jokowi tapi Yasona adalah loyalis Megawati. Menjadi Menteri dua periode juga tak lepas dari usulan dan desakan Megawati.

Karena itu, kualitas ketundukan Yasona akan lebih ke Megawati. Implikasinya, Megawati tak akan mundur dengan penyanderaan HM yang dijadikan bargaining politik. Gak mempan politik penyanderaan itu.

Satu hal yang layak kita catat lebih lanjut, rivalitas Megawati versus Jokowi makin mengemuka. Dan hal ini sesungguhnya menggambarkan insoliditas PDIP, yang secara faktual sedang terjadi.

Dalam bahasa alam, kristal gunung es karena terpaan temperatur panas akan meleleh. Refleksinya, munculnya faksi perlawanan atas hegemoni trah Megawati mendorong terjadi pelelehan itu.

Soliditas yang terbangun sejak 1998 dan hampir tiga dasawarsa secara alamiah akan menimbulkan kejenuhan. Titik jenuh itu natural. Ingin merasakan oksigen baru, yang dapat menyegarkan sekaligus menyehatkan. Dalam hal ini, boleh jadi trah Jokowi menjadi pengganti.

Tapi, kejenuhan politik yang menggambarkan kemudahan demokrasi dalam tubuh PDIP, tampaknya belum bisa terakomodasi. Loyalis Megawati yang sejatinya kaum oportunis masih cukup dominan.

Karena itu hanya satu titik kemungkinan kejenuhan itu akan benar-benar terjadi jika Megawati sudah tidak lagi menjabat Ketua Umum. Kecuali Puan berhasil naik tahta sebagai Presiden, bukan sekedar Menteri, atau hanya Ketua DPR RI.

Yang layak kita catat lagi, jika trah Megawati selesai, bagaimana nasib PDIP? Konflik internal diprediksi akan terjadi. Dan perlahan tapi pasti, PDIP pun akan tenggelam. Itulah nasib partai feodalistik, yang hanya mengandalkan fondasi pada trah keluarga. Partai bagai korporasi milik pribadi. Dan itu beda dengan partai yang dibangun dalam landasan program yang diperkuat kader-kader terbaiknya.

Dan estafeta kepemimpinan ini akan berhasil jika yang dibangun sistemnya, bukan penyerahan tongkat kepemimpinan pada baris keluarga. Let`s see the next his history.

Akhirnya, kita perlu menyampaikan satu perenungan, ojo dumeh (jangan mentang-mentang) lagi berkuasa. Sekuat apapun posisi kekuasaannya, tapi absolutely power tends to corrupt.

Dan diksi corrupt ini bukan hanya abuse of power, tapi kehancuran yang digerogoti dari dalam, mulai dari diri sendiri sebagai sang penguasa partai. Menjalar ke sekitar pimpinannya yang sudah lama menanti bahkan cemburu.

Penulis: Analis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.