Pilih Didampingi Gibran, Jalan Politik Prabowo Subianto Kian Terjal

Oleh: Agus Wahid

Terlalu gegabah, bahkan ekstrim. Itulah opini yang memprediksi Prabowo Subianto (PS) sudah tamat karir politiknya. Opininya berangkat dari langkah politiknya yang memilih Gibran sebagai cawapresnya. Opini menyesatkan atau memang berangkat dari kalkulasi obyektif di lapangan? Untuk mendapatkan gambaran, kita perlu membaca dengan jernih topografi politik PS akibat pilihan cawapresnya (Walikota Solo) dengan pedekatan peta politik “bumi” dan “langit”.

Bicara topografi politik “bumi”, kita saksikan pertama dampak reaktif dari memilih Gibran sebagai cawapresnya adalah pecahnya hubungan mesra PDIP Gibran. Hubungan yang memburuk ini bukan hanya di level elitis Partai Banteng, tapi juga mempengaruhi secara meluas pada basis massa grass-rootnya. Di mata PDIP, Gibran dan keluarganya (Kaesang yang telah dinobatkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia dan Jokowi) dicatat sebagai pengkhianat.

Cap pengkhianat itu praktis membuat ceruk PDIP tak bisa diharapkan untuk didulang suaranya, terutama masyarakat Solo dan atau daerah lainnya yang memang menjadi basis massa primordial Banteng. Stigma negatif Gibran ini sungguh serius dampaknya. Bisa dikatakan, tak ada ampun bagi Gibran di mata PDIP. Refleksinya, kantong-kantong suara PDIP di manapun di Tanah Air ini tak bisa diharapkan. Bahkan, andai terjadi putaran kedua dan Ganjar-Machfud MD kalah dalam putaran pertama, maka sakit hati Megawati dan seluruh kader PDIP akan mengartikulasikan dendam politiknya untuk tetap tidak memilih pasangan Prabowo-Gibran. Kekecewaan dan kebenciannya boleh jadi akan dibawa sampai ke liang lahat.

Dari peta sosio-politik itu, Prabowo tak bisa berharap dari suara kaum priomordial Merah. Lalu, basis massa mana yang diandalkan untuk menjadi pemenang? Golkar, PAN, Demokrat, bahkan PBB? Keempat partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) pun tak bisa diharapkan. Bahkan, Gerindra itu pun tak bisa berharap banyak dari basis massanya sendiri. Cukup sederhana kalkulasinya. Yaitu sebagai faktor kedua keempat partai KIM itu pada dasarnya gerbong kosong. Memang, secara kelembagaan, keempat partai itu menjadi koalisi gemuk. Menjadi besar prosentasenya: 40,28% dan melebihi ambang batas minimal (presidential threshold).

Gerindra: 78 kursi Jumlah suara: 17.596.839 (12,57 persen)
Golkar: 85 kursi Jumlah suara: 17.229.789 (12,31 persen)
Demokrat: 54 kursi Jumlah suara: 10.876.057 (7,77 persen)
PAN: 44 kursi Jumlah suara: 9.572.623 (6,84 persen)
PBB: 1.990.848 (0,79)

Perlu kita garis-bawahi, Golkar yang memiliki 17.229.789 suara (12,31%) atau 85 kursi dan PAN 9.572.623 suara (6,84%) atau 44 kursi dalam pemilu 2019 lalu. PBB 1.990.848 suara (0,79%). Bahkan, Gerindera sendiri meraih 17.596.839 suara (12,57%) atau 78 kursi dan Demokrat 10.876.057 suara (7,77%). Capaian suara pada 2019 tak dapat dijadikan rujukan. Faktornya, topografi politik 2019 tak bisa dipersamakan dengan 2024. Di lapangan kita saksikan, banyak kader dari partai-partai KIM memiliki kecenderungan lebih memilih pasangan Capresnya di luar Prabowo-Gibran. Hal ini berarti, mesin politik KIM potensial rapuh.

Kerapuhan KIM sebagai faktor kedua karena keempat partai pendukung Prabowo-Gibran, terutama Golkar dan PAN lebih merupakan upaya menyelematkan diri kedua Ketua Umumnya. Motivasi ini di satu sisi berdampak pada kontraksinya pengerahan energi dan lain-lain. Seperti di tubuh Golkar, partai besar ini dari awal sudah terjadi faksi yang tajam. Faksi Akbar Tanjung, Jusuf Kalla masih sangat powerful di tengah intenal Pohon Beringin. Di sisi lain, para kadernya akan proaktif dalam pemilu, hal itu lebih merupakan artikukasi kepentingan sempit pribadinya menuju parlemen. Tak ada kaitannya dengan pemilihan presiden (pilpres). Atau, mereka tak akan tunduk pada perintah Ketua Umumnya yang mengarahkan (memilih) Prabowo-Gibran.

Bagi internal Golkar, gagalnya Airlangga Hartarto menjadi capres dan atau cawapres merupakan persoalan serius (menyalahi hasil Munas sebelumnya). Karenanya, kepemimpinan Airlangga di Partai Golkar yang mendorong Gibran sebagai Capres mengindikasikan bahwa partai yang sempat berjaya di era Orba itu krisis kepemimpinan. Sehingga banyak terjadi pembangkangan di akar rumput. Selein itu, Airlangga itu sendiri pun tak bisa memberikan sanksi politik kepada para kadernya yang tak tunduk pada instruksi Ketua Umum Golkar itu. Tak “dimunaslubkan” saja sudah untung. Tapi, jika dia berikan sanksi politik, jusrtu makin mengancam posisi dirinya sebagai Ketua Umum.

Untuk itu, Airlangga atas nama keamanan posisinya sebagai Ketua Umum akan lebih mengambil sikap toleran terhadap sikap politik para kadernya yang berbeda dengan keputusan Ketua Umum. Hal ini berarti, Prabowo tak bisa berharap banyak dari basis massa Golkar.

Bagaimana dengan PAN? Bisakah diharapkan? No. Sikap politik para kader PAN dari level elit hingga cabang bahkan ranting hanya untuk memenuhi kepetingan pribadinya menuju parlemen. Hatinya tak akan berjibaku untuk pasangan Prabowo-Gibran. Terlebih, Erick Thohir yang sempat digadang gadang bakal mendampingi Prabowo akhirnya kandas, karena Prabowo lebih memilih Gibran. Bahkan, di lapangan terdapat data sosiologis, para kader PAN yang maju dalam pileg merasa terbebani secara moral akibat masuk dalam gerbong Prabowo. Dan untuk mengurangi beban itu, maka ke manapun dan di manapun melangkah dalam sosialisasinya, mereka melepaskan diri dari nama Prabowo, apalagi kini terdapat nama Gibran.

Bagaimana dengan PBB dan Demokrat? Untuk PBB, di samping basis massanya kecil, juga nama Prabowo dan Gibran cukup bermasalah. Sebagai entitas massa yang fundamentalis, mereka tampak alergi dengan karakter pemimpin sekuler.

Sementara, Demokrat dari level elit hingga grass-root sudah menunjukkan kekecewaannya akibat AHY gagal dipilih sebagai pendamping Prabowo. Meski belum menyatakan sayonara dari KIM, tapi hatinya tak bisa disangkal kekecewaannya. Implikasinya, bukan hanya setengah hati untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, tapi akan muncul rasa “tidak lagi menjadi bagian dari KIM”, meski tak terucap. Hal ini semakin memperapuh mesin politiknya, atau untuk presiden dan wakil presiden yang diusung.

Bagaimana dengan kantong suara Nahdliyyin yang selama ini juga digarap melalui Eric Tohir atau oleh Prabowo itu sendiri? Semakin jauh dari harapan. Eric Tohir sendiri setelah tersingkir dari bursa cawapres langsung raib dari hiruk-pikuk kontestasi. Dan PBNU pun karena harapannya sebagai cawapres Prabowo ataupun Ganjar tidak tercapai kini kian menjaga jarak dari kedua pasangan itu. Keberpihakan politiknya tak lagi agresif seperti sebelum nama Gibran dan Mahfud masuk dalam jajaran cawapres.

Membaca topografi politik “bumi” itu, Prabowo Subianto sudah tak bisa diharapkan. Asumsi menggandeng Gibran untuk mendulang suara sampai menjadi pemenang, justru hasilnya paradoks. Bahkan, potensi kemenangan yang dilakukan dengan picik dan licik, bakal sulit dilakukan, karena rahasia itu sudah terbaca modus dan modelnya. Pembentangannya sudah dilakukan secara sistimatis-terencana dan ekstensif, termasuk pemasangan para personel di KPU Pusat hingga terbawah.

Akhirnya, kita dapat menyimpulkan, peta politik “bumi” dan “langit” sudah menggambarkan Prabowo Subianto tamat. Memang, kesimpulan ini sangat kualitatif. Meski demikian, pendekatan observatif-intensif dapat dijadikan metodologi yang jauh dari anasir subyektif. Maka, kata tamat untuk Prabowo tidaklah berlebihan atau gegabah, apalagi tergolong ekstrim dalam beropini.

Penulis: Analis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.