
Oleh: Agus Wahid
Banyak elemen bangsa geram. Itulah reaksi menghadapi kalangan preman yang merajalela. Sikapnya yang barbar, sadis, tak berprikemanusiaan dan sederet citra kasar menempel pada kaum preman. Karenanya, bisa dipahami ketika banyak elemen mendesak untuk menghabisinya, dengan cara apapun: termasuk tembak misterius (petrus).
Sebuah refleksi yang layak kita sikapi lebih jauh, bagaimana dengan premanisme politik? Sorotan terhadap premanisme politik menjadi krusial bahkan sangat urgen karena dampaknya jauh lebih destruktif dibanding preman yang selama ini kita saksikan. Korban premanisme politik demikian meluas, tak terbatas pada sejumlah individu, tak hanya sektor tertentu, juga melibatkan hampir seluruh elitis di Tanah Air ini. Maka, korbannya sangat strukturalistik dan disadari atau tidak seperti terancang secara sistemik, melibatkan berbagai komponen suprastuktur.
Seperti kita saksikan dan rasakan bersama, setidaknya, dalam masa sepuluh tahun terakhir, premanisme politik begitu merajalela. Despotisme politik yang dikembankan bukan hanya memandulkan sistem demokrasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah, tapi menggantikannya dengan wajah kekuasaan yang diktatoristik.
Negara (pemerintah) tak mengenal atau tak rela berkompromi dengan perbedaan. Siapapun yang memaksakan keberbedaan harus berhadapan dengan terali besi, bahkan nyawa yang harus melayang secara keji. Persis yang dilakukan kaum preman sosial: tak kenal prikemanusiaan. Sungguh barbar. Super sadis.
Yang memprihatinkan adalah despotisme itu tidak hanya diberlakukan di wilayah eksekutif. Sebagai penguasa diktator, ia juga berhasil “merampas” hak-hak politik kaum parlemen, pemimpin partai, bahkan lembaga yudikatif dan penegak hukum dan apartur keamanan. Mereka dibikin takluk total.
Dampaknya adalah di kalangan parlemen mereka juga ikut menjalankan premanisme politik. Bentuknya? Ogah mendengarkan suara rakyat. Dengan kasat mata, kaum parlemen hingga kini relatif tak menggubris suara kegelisahan nasional, terkait kondisi negara, masalah sosok pemimpin yang jauh di bawah standar.
Ketika terjadi gerakan massif untuk segera mengakhiri pemimpin stupid, apalagi dilatarbelakangi “anak haram konstitusi” itu, justru para elitis parlemen beralibi nyeleneh. Tidak mencerminkan sikapnya yang pro rakyat, apalagi empati. Para elitis itu tak mau memahami kegelisahan nasional, padahal landasannya moral yang lebih tinggi dari konstitusi.
Jika kita cermati, sudah cukup lama kaum parlemen tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka dalam menjalankan fungsi legislasi lebih mengakomodir kepentingan pemodal. Hal ini dapat kita cermati pada pasal-pasal ekonomi, lingkungan (energi sumber daya alam) dan lainnya yang abai dengan hak-hak dasar kemakmuran rakyat.
Mengutip mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Machfud MD, di antara mereka menjual-belikan sikap politiknya sekitar @ Rp 50 juta per pasal. Tentu, nilainya bisa jauh fantastik ketika mau menyelundupkan pasal tertentu untuk kepentingan pihak eksternal (oligarki) itu. Inilah yang kita saksikan pada panorama lahirnya UU Omnibus Law, UU Minerba, revisi UU KPK, yang notabene tergelontorkan angka sekitar Rp 3 triliun.
Istana ketika Jokowi berkuasa berkepentingan untuk melemahkan KPK. Guna mengamankan gurita korupsi keluarganya. Dan sikap ini bagai gayung bersambut di kalangan anggota dan pimpinan DPR RI. Ada titik temu kepentingan, yang mengarah pada upaya menyelamatkan diri dari kejaran hukum KPK.
Dan yang mutakhir, parlemen menolak atau tak mau menandatangani UU Perampasan Aset. Rakyat bisa menebak di balik penolakannya. “Enak aja, gue dah susah-payah mengumpulkan harta dengan cara apapan dari posisinya sebagai orang parlemen, kok harus disita oleh negara”, guman di antara mereka secara imaginer. Sikap ini menunjukkan sejatinya tak ada perbedaan dengan kaum preman, yang nilainya jauh lebih fantastik dibanding preman biasa. Inilah premanisme politik di tengah parlemen.
Lebih mengerikan lagi ketika wajah premansime politik direfleksikan ke institusi lain, katakanlah kepolisian. Institusi ini tidak hanya menjalankan praktik diskriminasi (hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas), tapi eksploitase kewenangannya menghancurkan sendi-sendi hukum.
Institusi ini sudah sekian lama menjadi alat kekuasaan untuk memback up penguasa. Siapapun yang berbeda dengan penguasa, mereka menjadi alat pembungkam suara rakyat, dalam bentuk kriminalisasi, atau pencabutan nyawa secara paksa. Saat menghadapi pemilihan presiden, lebih sadis lagi tindakannya: menjadi alat pembantai rakyat. Lebih barbar dari preman biasa.
Yang mengherankan lagi, institusi negara yang harusnya berpihak pada kepentingan rakyat secara berkeadilan, kita saksikan dalam masa tiga tahun terakhir ini mereka demikian tega menjebloskan salah satu warganegaranya, hanya karena mempersoalkan status ijazah sang penguasa kala itu. Bahkan, setelah dia lengser dari istana, istitusi itu tetap loyal: harus tetap melindungi sang pemiliki ijazah yang diduga kuat “tak punya” aslinya.
Memang, apalah artinya sebuah ijazah? Persoalannya, keberadaan ijazah terkait dengan masalah yang fundamental bagi pejabat negara. Ada masalah kebohongan yang dibangun secara sistematis, apalagi menelan korban. Inilah ketidakadilan yang harus digugat secara tuntas. Tapi, keinginan suci itu justru dihadapi oleh kekuatan premanisme politik, berbaju coklat, formal dan digaji negara (rakyat).
Anehnya, premanisme politik itu pun merambah perguruan tinggi kebanggaan. Pejabat formalnya tetap kukuh “meyakini” keberadaan ijazah itu secara a priori, tanpa mau menelusuri data pemiliki ijazah secara algoritmatik. Sudah gelap mata. Mienimbulkan tanda tanya, why they did it? Adakah “sesuatu” yang mengalir seperti yang disinyalir BPK beberapa waktu lalu? Bukanlah tak mungkin.
Kembali ke “baju coklat”, di antara mereka menjadi mitra strategis bagi kepentingan neokolonialis oligarki. Dalam beberapa kasus seperti di wilayah Rempang (Riua), Pantai Indah Kapuk I dan II, mereka bukan hanya menjadi “centeng”, tapi juga menjadi intimidator bahkan algojo bagi rakyat, baik sebagai pemilik sah lahan, atau kalangan yang membela rakyat atas nama hak asasi manusia.
Kita perlu mencatat, manakala premanisme politik kian mengkristal dalam institusi penegak hukum, maka negeri ini sejatinya tak ada lagi hukum. Yang berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat itulah sang raja, penentu kehendak. Lalu, untuk apa institusi kepolisian jika rakyat tak terlindungi dan tak terayomi lagi? Sungguh menyedihkan. Potret kelam ini sesungguhnya mencederai teman-teman sejawatnya yang tergolong bersih, taat hukum sesuai tugas selaku insan Bhayangkara.
Kita perlu merenung, jika pramanisme politik dipertahankan, maka sistem pemerintahan tak akan pernah sejalan dengan konstitusi, bahkan tujuan adanya sebuah negara merdeka. Sementara, manakala premanisme politik kian menjangkiti parlemen, keberadaannya hanyalah menjadi “stempel” kepentingan penguasa. Dan sikap politik parlemen seperti ini tak lepas dari sikap pimpinan partai politik yang “mbalelo” dari tujuan berpartai politik. Partai politik yang ada bukan lagi menjalankan pilar demokrasi, tapi justru menjadi perusak parah.
Akhirnya, tidaklah berlebihan jika muncul pesimisme, jika premanisme politik kian menjadi budaya politik kekuasaan, Indonesia tak lama lagi akan punah, seperti yang disinyalir dua novelis (Peter Waren Singer dan August Cole) dalam novelnya (Ghost Fleet). Tinggal sebuah nama, tanpa bentuk. Menjadi puing-puing sejarah, bahwa Indonesia pernah ada. Itukah takdir Indonesia?
Penulis: aktivis UI Watch PLUS