
Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Mari kita buka apa yang selama dua puluh tahun ini selalu disimpan di balik tembok tinggi Peruri:
bagaimana Rupiah, simbol kedaulatan negara, justru dikelola dalam gelap tanpa audit tematik, tanpa transparansi, dan tanpa keberanian aparat penegak hukum menyentuhnya.
Ketika isu nomor seri uang mencuat di pemberitaan, dengan segala aroma politik yang melekat, maka negara mendadak gagap. Bukan karena teknologinya rumit. Tapi karena negara tidak punya data, tidak punya baseline, dan tidak punya laporan audit apa pun untuk menjawab pertanyaan publik. Dan di sinilah skandal besar itu terbuka.
Awal mula saat Peruri dan SICPA membentuk jantung sekuriti Rupiah
Pada 2004–2005, Peruri membentuk perusahaan patungan dengan raksasa tinta Swiss SICPA SA. Perusahaan itu diberi nama: PT Sicpa Peruri Securink (PT SPS). Itu pemasok utama tinta keamanan untuk Rupiah: OVI, magnetik, optik variabel, tinta paling rahasia, paling mahal, dan paling menentukan keaslian uang.
Sejak hari itu, PT SPS menjadi pemasok inti. Uang tidak akan bisa dicetak tanpa mereka. Tetapi sejak hari itu pula, sesuatu yang aneh terjadi, yakni dua dekade berlalu, tak satu pun audit BPK menyentuh kinerja mereka.
Dua dekade BPK mengelilingi inti, tapi tidak pernah masuk ke papurnya (2005–2025)
BPK memang rajin mengaudit Peruri. Tetapi ruang lingkupnya seperti jalan yang selalu berputar-putar di tepi hutan, tanpa pernah masuk ke tengah hutan itu sendiri. Berikut area yang BPK periksa, dan ini fakta:
1. Laporan keuangan Peruri.
2. Pendapatan jasa dan belanja modal.
3. Aset tetap.
4. Proyek paspor dan materai.
5. Transformasi digital BUMN.
Lalu apa yang tidak pernah diperiksa?
1. Inti proses percetakan uang.
2. Efisiensi tinta vs bilyet.
3. Kinerja PT SPS.
4. Waste rate dan reprint rate.
5. Sistem pengendalian nomor seri.
6. Biaya produksi per lembar.
Padahal di sanalah letak seluruh potensi penyimpangan, korupsi, pemborosan, dan celah manipulasi. Selama 20 tahun, laporan BPK yang menyentuh area ini nol.
Tembok rahasia negara” yang terlalu nyaman
Alasan yang dipakai setiap kali audit proses hulu diminta selalu sama: “Ini rahasia negara, terkait keamanan sistem uang.” Padahal mari kita jelaskan secara jernih:
Rahasia negara hanya mencakup: formula tinta, desain sekuriti, fitur optik dan watermark. Tetapi tidak mencakup:
1. Efisiensi penggunaan tinta.
2. Kinerja perusahaan patungan.
3. Waste rate.
4. Sistem kontrol nomor seri.
5. Manajemen biaya produksi.
Dengan kata lain: yang disembunyikan bukan rahasia sekuriti. Yang disembunyikan adalah potensi pemborosan dan inefisiensi.
Kesalahan sistemik negara: semua mengira ada yang mengawasi
Inilah tragedi tata kelola:
1. BPK mengira BI-Kemenkeu yang awasi proses produksi.
2. BI mengira Peruri sudah diaudit BPK.
3. Kemenkeu mengira semua aman karena ada SOP internal.
4. APH mengira kalau ini penting pasti sudah ada audit tematiknya.
5. Peruri dan PT SPS nyaman karena semua pihak saling lempar tanggung jawab.
Hasil akhirnya? jantung percetakan Rupiah menjadi black box yang tidak pernah disentuh siapa pun.
*Dampaknya mengerikan yakni ketidakakuratan data uang beredar (M0)*
Kalau tinta, waste, reprint, dan nomor seri tidak diaudit, maka:
1. Akurasi laporan uang beredar ke BI (M0) bisa meleset.
2. Kebijakan moneter bisa salah.
3. Inflasi bisa lebih sulit dikendalikan.
4. Ekonomi menjadi tidak stabil.
5. Data tidak cocok lapangan vs laporan.
Dalam istilah Indonesia Audit Watch: “Kalau dapurnya gelap, bagaimana mau yakin jumlah lauknya benar?”
Ini bukan lagi isu Peruri. Ini isu kedaulatan moneter.
Rentetan skandal nomor seri: APH selalu dimulai dari nol
Begitu isu nomor seri muncul, misalnya dugaan percetakan khusus untuk tokoh politik, maka APH mendadak panik. Bukan karena alat bukti kurang, tapi karena negara tidak punya baseline audit:
1. Tidak ada angka waste-rate standar.
2. Tidak ada konsumsi tinta per pecahan.
3. Tiidak ada efisiensi normal mesin cetak.
4. Tidak ada audit kontrol nomor seri selama 20 tahun.
APH bekerja seperti polisi yang diminta menangkap maling, tetapi negara tidak pernah mendata isi gudang.
Lini masa fakta kritis
Tahun 2004–2005 PT SPS terbentuk. 2005–2025 BPK audit Peruri, tetapi tidak pernah audit proses inti. 2010–2025, seluruh audit SICPA global terkait skandal ink security tidak pernah dipelajari oleh RI. Tahun 2020–2024, isu nomor seri berulang muncul, APH gagap menjelaskan karena tidak punya data audit 2025 muncul tekanan publik agar Kemenkeu dan Peruri membuka jumlah mesin cetak. Fakta: jumlah mesin pun negara tidak pernah komunikasikan secara terbatas.
Ini bukan sekadar kelalaian. Ini pola pembiaran struktural.
Mengapa harus audit tematik PDTT “Tinta vs Bilyet”?
Inilah solusi paling rasional, paling legal, dan paling mendesak. Audit PDTT tidak membuka rahasia negara, tetapi mengevaluasi:
1. Berapa banyak tinta yang dibeli?
2. Berapa banyak bilyet yang keluar?
3. Berapa waste normal?
4. Berapa konsumsi tinta per pecahan?
5. Berapa nilai ekonomis PT SPS untuk negara?
Audit seperti ini sudah lazim di negara lain, seperti Jerman; Inggris; Swiss; Korea Selatan dan India. Justru Indonesia yang paling gelap.
Mengapa aparat penegak hukum belum turun?
Karena: tidak ada audit tematik, tidak ada baseline, tidak ada parameter kontrol, tidak ada preseden kasus, dan tidak ada keberanian untuk masuk ke sektor “keramat”.
APH bukan tidak mau. Negara tidak pernah memberi alat. Tetapi jika APH tidak bergerak setelah semua ini, maka itu bukan lagi masalah alat. Itu masalah kehendak.
Ketika negara diam, rakyat bertanya
Dalam sistem moneter, kepercayaan adalah mata uang yang lebih mahal dari emas. Dan hari ini, kepercayaan itu sedang tergerus oleh dua dekade tanpa audit, perusahaan patungan tanpa transparansi, mesin cetak tanpa data publik, nomor seri tanpa baseline, dan lembaga negara yang saling mengira ada yang mengawasi.
Saatnya negara berhenti diam!
Indonesia Audit Watch menegaskan, kedaulatan moneter tidak akan pernah tercapai jika jantung percetakan uang dibiarkan gelap. **
