Uji Publik Kapabilitas Capres

Oleh: Agus Wahid

Sungguh menarik proses politik menuju istana 2024 di negeri “Kanoha” ini. Itulah uji publik terhadap calon presiden (capres) yang diselenggarakan di berbagai kampus ternama. Suatu perhelatan uji kapasitas capres yang jauh beda dengan proses politik percapresan masa lalu. Kita perlu menerawang, apa manfaat strategis dari uji publik kapabilitas capres?

Ada beberapa makna konstruktif dari uji public itu? Yaitu, publik menjadi tahu persis kapabilitas sang capres. Bahkan, lebih dari itu: tahu kecerdasan akal sehat capres bahkan kecerdasan nuraninya, kualitas emosionalitasnya dalam mengendalikan diri dan sebaliknya. Dan publik juga akan tahu integritas nasionalistiknya dan moralnya (etikabilitasnya). Beberapa hal tersebut merupakan kualitas jatidiri capres yang terbangun tidak secara instan. Bersifat orisinil. Bukan, rangkaian pemikiran naratif yang dipersiapkan tim pemikirnya (think tank).

Uji publik yang diikuti kalangan akademisi kampus jauh lebih substantif dan komprehensif dibandingkan model yang dulu dipersiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di samping durasi pengujiannya sangat terbatas, juga tingkat partisipan “penguji” tidak melibatkan banyak pihak. Tidak tertutup kemungkinan, model pengujian KPU dulu “bocor” sebelum tergelar, sehingga dipertanyakan obyektivitas dan orisiniltasnya. Maka, kualitas kapabiltas sang capres sesungguhnya tetap diragukan.

Kiranya tidaklah berlebihan bahwa model uji publik menuju pilpres 2024 ini membuka mata publik (yang on the spot ataupun ikutsecara delay yang jauh dari ruang uji), sehingga seluruh elemen mendapatkan data komprehensif tentang kapabilitas sang capres. Istilah “membeli kucing dalam karung” tak berlaku lagi. Dan satu hal yang perlu dicatat, paparan konsepsional sang capres dapat dilihat sebagai janji politik langsung seorang capres, meski tidak secara tertulis. Kekuatan daya lekatnya jauh lebih kuat dibanding janji politik yang dirumuskan Tim Sukses.

Implikasinya, daya pertanggungjawabannya juga lebih mengikat. Dan hal ini memaksa sang capres senantiasa akan terpanggil untuk menuntaskan janjinya, di hadapan rakyat sebagai pemilik hak kadaulatan. Maka, tak ada cerita lagi “Jangan nanya saya. Atau, yaa ga tahu…. Atau, I don`t read what I sign” tentang apa yang telah tersampaikan di hadapan publik, yang totalnya mencapai jumlah jutaan pemirsa, dari dalam ataupun luar negeri. Itulah peran media digital yang memancarluaskan dialog intelektualitas capres akademisi. Jejak digital ini tak akan sirna dalam waktu berapa lama pun. Suatu saat, bisa dibuka: sebagai panduan penuntutan janji politiknya. Minimal, teguran moril.

Perlu kita garis-bawahi, uji publik kapabilitas seperti itu akan menjadikan basi untuk gerakan image modelling. Useless. Pembodohan. Tidak orisinal. Pemolesan citra yang tak berbanding lurus dengan kapabilitas jatidiri sang capres bukan hanya membongkar diri kepalsuannya, tapi juga merupakan penipuan publik secara sistimatis dan terencana menjadi terkonang (ketahuan) secara dini oleh masyarakat konstituen. Kiranya, data dan atau informasi publik yang tergapai itu menjadi faktor penting dalam konteks mencegah kebutaan publik dalam memilih capres.

Andai pendekatan uji kapabilitas ini dilakukan secara terbuka pada masa lampau sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, maka di antara mantan presiden yang kemungkinan mampu menghadapinya dentuman pertanyaan hanyalah Soekarno, Habibie, Gus Dur dan SBY. Soeharto pun jika mengacu pada masa awal menerima pelimpahan kekuasaan masih diragukan kapabilitasnya. Jauh lebih diragukan khusus untuk nama seperti Megawati apalagi Joko Widodo. Keduanya akan “a i u” saat dihujam berbagai pertanyaan kritis dan mendalam. Sama artinya tak mampu menjawab secara konsepsional dan filosofis. Jika harus menjawab, pun hanyalah asal bunyi (asbun). Meaningless.

Artinya, jika sejak dulu diberlakukan model uji publik kapabilitas sang capres, negeri ini tak akanterjadi kecelakaan politik serius. Politik ”melo” atau terkesima kesederhanaan sampai masuk gorong-gorong tak akan mempengaruhi keputusan politik warga negara ini, sebab diketahui kapabilitasnya jauh di bawah standar rasional. Inilah makna strategis uji publik kapabilitas capres yang kini memang sangat urgent guna mendapatkan gambaran solusi produktif atas dampak destruksi berbagai sektor di negeri ini secara menasional. Bahkan, publik pun dapat muncul harapan atau optimisme baru setelah menyaksikan jawaban dan komitmen capres yang mumpuni itu. Sebaliknya, akan sirna harapan itu ketika sang capres hanya “aa ii uu” (bingung) menjawab dentuman pertanyaan para panelis yang rerata sangat berbobot. Atau, jawabannya menggambarkan keberpihakannya pada kekuatan neokolonialis (oligarki dan kompradornya).

Publik Dapatkan Gambaran Dini

Jika kita cermati secara komparatif dari uji publik kapabilitas para capres di berbagai kampus, publik menyaksikan kualitas pemikiran capres dalam merespon pertanyaan para dosen dan mahasiswa yang demikian tajam, konsepsional atas berbagai aspek tata-kelola kenegaraan masa lalu dan masa depan. Secara random, dapat kita simpulkan, tidak mudah menjawabnya. Dan tiadanya pembatasan pokok bahasan yang diujikan, membuat tidak cukup waktu untuk mempersiapkan materi jawaban.

Karenanya, perhelatan politik 2024 ini memaksa para capres benar-benar sosok pemimpin yang berpengetahuan luas, menguasai secara mendalam seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus visioner. Juga, diperlukan kecerdasan (kemampuan berfikir cepat) dalam menganalisa persoalan yang dilontarkan para panelis dari anasir dosen dan mahasiswa. Bahkan, kemampuan public speaking yang bagus, mampu menjaga tingkat emosionalitas dan kualitas inner beauty yang bukan instan pembentukannya.

Seluruh kapabilitas itu akan terlihat mana capres yang sesungguhnya memang memilikinya dan mana yang “kopong” (kosong). Secara komparatif-obyektif, kita saksikan Anies Baswedan tergolong capres yang benar-benar mumpuni. Memiliki kapabilitas bahkan etikabilitas. “Digempur” dengan pertanyaan sesulit apapun, bahkan tak kurang juga adanya pertanyaan yang menjebak, tapi Anies benar-benar menguasai persoalan dan panggung. Dan yang lebih krusial adalah jawabannya mencerminkan kejujuran, BUKAN “ngakali” yang jelas tendensius arahnya. Di lapangan, terdapat kesan: panelis pun akhirnya “menyerah”. Tak bisa bertanya lagi. Sementara, rivalnya seperti yang kita saksikan sering menyampaikan jawaban yang tidak nyambung, atau asal bunyi tanpa arti (meaningless). Pernah terlihat juga, capres ini dibikin “mati kutu”. Benar-benar tak punya kerangka solusi atas persoalan yang dilontarkan.

Kini, yang perlu kita analisis lebih jauh, sampai sejauh mana efek positif dari panggung uji publik kapabilitas capres itu? Dalam hal ini kita perlu tengok data pendidikan nasional. Menurut databox, per 2022, tercatat jumlah besaran: belum atau tidak tamat SD sebanyak 31 juta orang; tamat SD 64,7 juta orang; SLTP 39,7 juta orang dan SLTA 56,2 juta orang. Sedangkan dari strata D1 – S3, tercatat 1,2 juta orang (D1 – D2); D3 mencapai 3,5 juta orang; S1 sebanyak 11,6 juta orang. Dan sebanyak 822,471 orang (S2) dan 59,197 orang (S3).

Jika menstandarkan tingkat pendidikan mulai dari D1 hingga S3 tergolong educated people, maka jumlahnya sangat minim: hanya 11,182 juta orang. Sedangkan yang tidak educated sebanyak 191,6 juta orang. Data ini menunjukkan, kalangan educated people hanya sekitar 17% atau 83,3% kalangan yang uneducated dari jumlah 202,782 juta orang pengenyam pendidikan dengan level berbeda-beda.

Mengacu data tersebut, maka tingkat kemanfaatan langsung secara persepsi dari pagelaran uji kapabilitas hanya sampai pada sasaran publik dengan jumlah sekitar 11,182 juta orang. Sebesar 191,6 juta orang tak memahami misi utama pagelaran uji kapabilitas publik. Berangkat dari komparasi data ini, apakah pagelaran uji kapabilitas capres useless? Tetap berguna. Tugas kaum educated harus mampu mentransformasikan pengetahuan dan penyadaran kepada elemen publik yang memang tidak beruntung dalam mengenyam pendidikan. Hal ini menyangkut tanggung jawab moral kaum berpendidikan. Mereka merupakan sosok the agent of change dalam memahamkan berbagai elemen masyarakat non educated.

Tentu, tidak harus sama persis apa yang disampaikan capres yang demikian filosofis dan detail, tapi cukup dengan saripati kebijakan konstruktif. Tidak harus dengan info yang berat dan memusingkan, tapi info praktis, misalnya sembako murah dan terjangkau. Jaminan ketersediaan pangan. Keamanan yang terpelihara dengan megendapkan aspek kemanusiaan. Terwujudnya sistem sosial-ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Semua itu merupakan jabaran refleksitif dari format kebijakan yang siap dijalankan oleh sang capres yang teruji kapabilitasnya di hadapan arena kampus itu.

Karena itu, memasuki kontestasi 2024 ini, sangat diharapkan peran kaum intelektual dalam menjalankan tugas transformasi pengetahuan yang berpotensi besar menguatkan dan atau mengubah persepsi publik yang keliru menilai sosok capres itu. Jadi, pilpres kali ini yang dinilai sebagai penentu nasib bangsa dan negara harus mampu menumbuhkan keterpanggilan seluruh elemen masyarakat: untuk diselamatkan. Sungguh tak elok bahkan dipertanyakan sikap nasionalistiknya jika bersikap pasif, apalagi diam.

Penulis: Analis dari Center for Public Policy Studies (CPPS) INDONESIA.

Leave A Reply

Your email address will not be published.